PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia), di periode kepemimpinan siapa pun, pasti berjuang keras menjulangkan prestasi tim nasional (timnas)-nya. Terutama timnas seniornya. Mulai dari Piala AFF di level Asia Tenggara dulu lah. Kalau bisa juara Piala AFF lebih dari satu kali, otomatis mengincar level Piala Asia (AFC). Baru kemudian, kalau bisa, tembus putaran final Piala Dunia.
Namun, di sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, sejak 1930 tahun berdirinya PSSI, belum pernah satu kali pun Laskar Garuda (julukan timnas Indonesia) menjuarai Piala AFF. Apalagi juara Piala Asia. Dan jangan tanya masuk putaran final Piala Dunia.
Kita terpaksa mengabaikan timnas Hindia Belanda yang pernah ikut putaran final Piala Dunia 1938 di Prancis. Hal itu terjadi karena keberuntungan luar biasa di masa itu. Kala Piala Dunia baru menapak edisi ke-3. Mengapa? Karena tidak melalui fase kualifikasi yang sangat ketat seperti sekarang. Indonesia saat itu masih jadi negara jajahan Belanda dan memakai nama Dutch East Indies (Hindia Belanda Timur) untuk Piala Dunia 1938. Saat itu memang Dutch East Indies tercatat sebagai negara Asia pertama yang lolos ke putaran final Piala Dunia.
Dahulu beberapa benua yang belum pernah berpartisipasi sejak edisi perdana Piala Dunia 1930 di Uruguay mendapat undangan untuk mewakili benuanya. Termasuk saat itu Asia yang belum pernah ikut Piala Dunia.
Awalnya perwakilan Asia bukanlah ”Indonesia”, melainkan Jepang. Namun, pada 1937 Jepang terlibat dalam Perang Asia Timur sehingga mengundurkan diri dari Piala Dunia. Maka, ”Indonesia”-lah yang ditunjuk mewakili Asia. Berkat peran Belanda tentunya.
Sampai saat ini timnas Merah Putih belum pernah satu kali pun menikmati dahsyatnya perhelatan putaran final Piala Dunia. Paling mentok, prestasi Indonesia tercatat sebagai runner-up Piala AFF sebanyak enam kali. Yaitu pada 2000, 2002, 2004, 2010, 2016, dan 2020 yang baru diselenggarakan di pengujung 2021 lalu.
Indonesia memiliki modal sebagai negara yang paling hebat suporternya di Asia Tenggara. Kaum gibol (gila bola)-nya luar biasa! Tapi, mengapa timnasnya selalu (baca: sering) gagal juara?
Inilah persoalan sepak bola Indonesia yang entah sampai kapan akan berakhir. Dunia sepak bola Indonesia, terutama PSSI, tentu tak akan membiarkan kaum gibol Indonesia terus-menerus kecewa.
Memang masih ada beberapa prestasi yang bisa dibanggakan. Misalnya ketika timnas U-19 Indonesia menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 yang dihelat di Jawa Timur. Indonesia juga pernah juara SEA Games 1987 dan 1991. Indonesia juga pernah menembus semifinal sepak bola di pentas Asian Games 1954, 1958, dan 1986. Timnas sepak bola Indonesia bahkan berhasil meraih medali perunggu di Asian Games 1958 Tokyo. Setelah menggilas timnas India 4-1.
Namun, raihan tersebut belum masuk sebagai prestasi puncak. Prestasi puncak yang dimaksud adalah sukses timnas senior Indonesia di Piala AFF, Piala Asia, dan yang paling puncak: masuk putaran final Piala Dunia (walau misalnya sudah tersisih di babak penyisihan grup).
*
Kalau toh Indonesia belum pernah juara Piala Asia, masih bisa diterima lah. Negara-negara Asia Tenggara lainnya juga belum pernah juara. Tapi, kalau merebut takhta juara Piala AFF (dulu bernama Piala Tiger) ”saja” tidak bisa, itulah yang jadi pertanyaan besar sampai sekarang. Apanya yang kurang? Apakah pilihan naturalisasi pemain merupakan senjata pemungkas PSSI?
Kita belum tahu sampai kapan pola naturalisasi pemain diberlakukan oleh PSSI. Seharusnya ada batas waktunya untuk mengevaluasi. Apakah terjadi perubahan signifikan atau tidak? Kalau dalam waktu empat tahun gagal juara juga, tim ahli PSSI harus segera memberikan masukan yang lebih mujarab.
Jangan-jangan para petinggi PSSI terlalu jauh dan tinggi penglihatannya. Penginnya seperti Italia atau Brasil yang juara empat dan lima kali Piala Dunia. Tapi belum pernah mempelajari secara mendalam bagaimana Vietnam dan Singapura menggembleng pemainnya untuk bisa juara Piala AFF.
Kekurangan (kelemahan) para pemain sepak bola Indonesia ada pada ketangguhan fisiknya. Itulah dulu yang digarap serius oleh Anatoly Polosin (asal Rusia) di masa kepelatihannya pada 1987–1991. Hasilnya, Indonesia jadi juara SEA Games 1991.
Kelemahan fisik itu pula yang jadi PR utama Shin Tae-yong. Maka, problem kelemahan fisik pemain inilah yang seharusnya jadi fokus pembenahan semua pihak. PSSI bersama klub-klub.
Tapi, jalan instan memang bisa saja ditempuh dengan menaturalisasi pemain. Masalahnya: apakah betul sudah tidak ada jalan lain lagi? Yang lebih mengutamakan pembinaan pemain lokal. Bola.net, 24 November 2021, menayangkan tulisan dengan judul: ”Daftar 35 Pemain Naturalisasi di Indonesia: Tidak Semua Berguna untuk Timnas”. Nah!
Bukankah ketika Indonesia juara SEA Games 1987 dan 1991 semuanya pemain lokal? Full local. Pemain asing (naturalisasi) boleh saja, tapi akan lebih terhormat jika timnas lokal total. (*)
* Wartawan Jawa Pos 1982–2006