Kesempatan publik untuk memberi masukan secara intensif perihal UU IKN ada pada rapat dengar pendapat umum (RDPU), sementara pada pembahasan undang-undang itu RDPU berlangsung selama empat hari berturut-turut, kata Direktur Indonesian Parliamentary Center Ahmad Hanafi pada acara diskusi yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, rentang waktu berlangsungnya RDPU yang digelar oleh DPR RI untuk mendengar masukan publik tentang UU IKN masih kurang memadai padahal undang-undang itu berdampak ke berbagai sektor serta kelompok masyarakat.
“Bagaimana mungkin undang-undang yang berdampak pada seluruh warga negara, karena perpindahan dari Pulau Jawa ke Kalimantan itu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang lain, tetapi prosesnya begitu cepat,” kata Hanafi.
Rapat Paripurna DPR RI pada 18 Januari 2022 menyetujui RUU IKN jadi undang-undang. Artinya, pembahasan RUU jadi UU IKN hanya butuh waktu 42 hari.
Menurut Hanafi, proses persetujuan UU IKN yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan produk legislasi lainnya menyebabkan ragam kritik dan usulan publik tidak diterima oleh Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN DPR RI.
“Kajian dari Walhi dan teman-teman lainnya, kelompok hukum dan sebagainya baru muncul sekarang. Teman-teman mungkin melihat itu (RUU IKN) baru diusulkan Desember (2021) kemudian reses, yang artinya teman-teman beranggapan Januari pada awal masa sidang bisa menyampaikan hasil kajiannya. Ternyata langsung disahkan. Itu mengurangi rentang waktu yang seharusnya dibutuhkan, karena teman-teman butuh waktu membuat kajian dan melihat pasal-pasal yang diusulkan,” sebut Hanafi.
Oleh karena itu, Hanafi mendorong DPR RI ke depan mempertimbangkan kembali metode “quick legislation” atau legislasi cepat yang digunakan saat menyetujui UU IKN.
“Quick legislastion itu legislasi dengan proses biasa tetapi cepat. Itu saya kira perlu dikaji ulang. DPR perlu menjadikan itu panduan atau pelajaran berikutnya supaya jangan sampai legislasi mengabaikan hak-hak publik,” kata Hanafi.
Pembahasan suatu undang-undang yang terlampau cepat mengurangi adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), kata Hanafi.
“Meaningful participation itu juga dimandatkan dalam putusan MK yang terakhir terkait (putusan uji materiil) Omnibus Law. Ada tiga hak yang harus dipenuhi secara bersamaan, yaitu hak atas informasi, hak untuk terlibat, dan hak untuk menggugat,” sebut Hanafi.
Tiga hak itu, menurut Hanafi, merupakan wujud keterlibatan publik yang harus ada dalam tiap penyusunan undang-undang, termasuk UU IKN.