Risiko hukum melapor ke KPK versus pemberantasan korupsi tebang pilih

Jakarta (BabatPost.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia selama ini menjadi lembaga yang begitu diharapkan mampu mewujudkan impian publik menuju terciptanya tatanan kehidupan yang bebas rasuah.

Read More

Lembaga pemberantasan antikorupsi ini mengemban ekspektasi yang besar dari masyarakat sehingga tak pernah luput dari perhatian publik.

Masyarakat yang makin teredukasi dengan baik soal korupsi pun kian menyadari peran penting Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga wajar ketika saat ini laporan dan aduan masyarakat terkait dengan korupsi menjadi tren dan marak.

Belum lama ini misalnya, dua orang telah membuat laporan ke KPK, pertama pelaporan oleh yang namakan dirinya, Presidium Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK), Adhie Massardi terkait dengan kasus yang sudah lama terjadi.

Yang dilaporkan tidak tanggung-tanggung, sederet nama-nama populer, seperti Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Anies Bawesdan (Gubernur DKI Jakarta), dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Adapun laporan yang dilayangkan bukan terkait dengan kasus kekinian, entah kasus Anies yang mana yang menjadi objek laporan. Namun, dari dua nama, Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) berkaitan dengan KTP elektronik (KTP-el) dan Ahok masalah pembelian tanah Sumber Waras, Cengkareng, Jakarta.

Berita Terkait :  Dampak asap Riau mulai berdampak di sektor Pariwisata

Praktisi hukum C. Suhadi, S.H., M.H. mengatakan bahwa fenomena pelaporan kepada KPK harus memperhatikan sejarah kasus yang ada.

Misalnya saja untuk kasus ketika KPK dalam proses persidangan tidak menemukan tersangka lain selain yang sudah divonis. Itu artinya perkara menjadi tidak relevan apabila tanpa ada sebab-sebab hukum muncul laporan-laporan baru.

Menurut Suhadi, laporan tentang ada atau tidaknya tindak pidana bukan mengacu pada dugaan apabila berkaitan dengan perkara yang sudah divonis.

Masyarakat harus memahami bahwa pelaporan yang dibuat menimbulkan risiko hukum yang kerap kali tidak sederhana.

Risiko Hukum

Belum lekang dari ingatan akan laporan-laporan sebelumnya, tiba-tiba muncul laporan baru dan tidak kalah serunya karena yang dilaporkan adalah kedua putra Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep.

Pelapor dari hasil penyelusuran adalah dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, yang juga merupakan aktivis ’98 dan simpatisan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Meski begitu, Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan pihaknya akan menindaklanjuti laporan tersebut. Ia menyebut saat ini laporan sedang dalam tahap verifikasi.

Fikri juga berjanji KPK akan menelusuri kasus tersebut secara proaktif. Pihaknya juga akan segera melakukan pengumpulan informasi tambahan. Selain itu, KPK akan membuka aduan masyarakat untuk membantu penyelesaian kasus tersebut.

Berita Terkait :  Polisi siapkan personel untuk razia miras dan perjudian

Bahkan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sempat mengatakan bahwa Pemerintah menjamin pelaporan masyarakat terhadap anak-anak Presiden, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, sesuai dengan aturan.

Sejumlah pihak memperkirakan akan muncul laporan-laporan serupa lainnya sehingga masyarakat harus mulai diedukasi mengenai risiko yang mungkin muncul.

Suhadi mengatakan bahwa masyarakat sudah saatnya untuk memahami bahwa membuat laporan memang merupakan hak sebagai warga negara. Namun, secara hukum membuat laporan bukan tidak mempunyai risiko hukum.

Jika tanpa dasar, laporan masuk dalam ranah pidana. Maka, setiap membuat laporan harus mempunyai dasar, yaitu adanya dua alat bukti yang mendukung laporan tersebut dan alat bukti tersebut adalah alat bukti yang bersentuhan dengan tindak pidana yang hendak dilaporkan.

Apabila alat bukti yang menjadi dasar laporan dari bukti yang baru yang akan timbul, belum dapat dikatakan sebagai tindak pidana.

Adapun laporan yang tidak berdasar karena buktinya lemah dan terkesan dipaksakan, menurut Suhadi, dapat masuk dalam kategori membuat laporan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 317 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dengan rumusan pasal ini, kata dia, setiap orang sebaiknya tidak sembarangan membuat laporan, kecuali didukung dengan fakta-fakta hukum yang dibenarkan untuk itu. Masalahnya, laporan yang didasarkan pada asumsi akan berakibat fatal.

Berita Terkait :  KPK Bakal Periksa PNS Yang Ada Di Klaten, Terkait Penangkapan Bupati

Instrumen Politik

Pencegahan dan pemberantasan korupsi pada akhirnya diharapkan tidak menjadi instrumen politik terbaik pemberantasan yang tebang pilih, termasuk pembuatan pelaporan untuk mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

KPK sejak awal dibentuknya adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ke depan diharapkan idealnya penempatan isu korupsi harus menjadi bagian yang menyatu dengan gerakan rakyat.

Dengan begitu tidak ada lagi perbedaan antara gerakan antikorupsi dan gerakan rakyat. Rekonstruksi gerakan ini penting agar masyarakat memahami bahwa korupsi umumnya memang terkait dengan berbagai kasus lain.

Di sisi lain, secara kelembagaan memang KPK idealnya didukung untuk tetap independen dan terbebas dari kepentingan politik yang berlebihan meskipun tidak mudah untuk mewujudkannya.

Di luar dari semuanya itu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 di Gedung Merah Putih KPK akhir tahun lalu meminta agar KPK tidak mudah berpuas diri dengan banyaknya kasus yang telah ditangani.

Menurut Jokowi, penilaian masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi belum baik. Maka, Presiden pun meminta agar seluruh pihak sadar mengenai penilaian ini dan mulai turut serta terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi menuju terwujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Related posts