“Semakin besar peluang RUU TPKS (untuk disahkan), semakin muncul oposisi terhadapnya. Bahkan, muncul rancangan produk hukum tandingan yang menggunakan fokus pada keluarga, yaitu RUU Ketahanan Keluarga,” kata dia.
Pernyataan itu dia sampaikan ketika memberi paparan materi dalam seminar bertajuk “Kesetaraan Gender: Prasyarat Masyarakat Adil, Makmur dan Kuat” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube LP3ES Jakarta, dan dipantau dari Jakarta, Selasa.
Nana menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga merupakan bagian dari sebuah narasi yang lebih besar dan mendunia. RUU ini merupakan gerakan transnasional dan lintas agama, serta memiliki fokus untuk mendesak diakuinya konsep bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi keluarga sebagai elemen sosial terkecil dari suatu bangsa.
“Kata-kata melindungi keluarga ini dijadikan semacam pembenaran bagi pengingkaran hak-hak perempuan di dalam keluarga maupun hak komunitas LGBT untuk membangun keluarga,” tutur dia.
Pada sisi lain, RUU TPKS memperjuangkan perlindungan hak-hak bagi berbagai pihak, khususnya kelompok rentan yang tidak hanya terbatas pada perempuan, di lingkungan apa pun, termasuk di dalam lingkungan keluarga.
Berbagai gerakan kanan, kata dia, menggunakan nilai-nilai agama untuk melakukan pembenaran atas RUU Ketahanan Keluarga. Tidak hanya nilai-nilai agama yang berasal dari agama mayoritas, namun juga agama minoritas di berbagai negara. Oleh karena itu, gerakan ini bersifat lintas agama.
Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa gerakan tersebut akan memberi pengaruh terhadap cara pandang masyarakat dengan menggunakan kata ‘sesat’ secara moral atau agama, sehingga dapat terjadi pergolakan di tengah masyarakat.
“Gerakan ini menjalankan politik populis yang menyasar isu perempuan dan pengendalian seksualitas perempuan sebagai alat mobilisasi politik mereka,” kata dia.