“Adanya undang-undang tersebut merupakan upaya dan tindakan penegakan hukum bagi korban sekaligus sebagai refleksi bersama seluruh masyarakat Indonesia terhadap keadaan (terjadinya kasus kekerasan seksual) yang memprihatinkan,” ujar Giwo Rubianto Wiyogo.
Hal itu disampaikannya saat membuka gelar wicara (talk show) nasional Kongres Wanita Indonesia bertema “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi” yang diselenggarakan secara virtual, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak belakangan ini, kata Giwo Rubianto, semakin meningkat, bahkan justru terjadi di dunia pendidikan. Oleh karena itu, lanjutnya, para korban kekerasan seksual membutuhkan perlindungan dan keadilan melalui sebuah undang-undang, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menurutnya, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi belum cukup untuk menangani kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di Indonesia.
“Bukan hanya Permendikbudristek saja, melainkan yang kita tunggu-tunggu adalah Undang-Undang TPKS,” tegas dia.
Dengan demikian, ia pun mengimbau agar seluruh bagian dari Kowani dan masyarakat Indonesia dapat mengawal RUU TPKS, terutama karena aturan tersebut baru saja dibatalkan masuk ke dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis (16/12).
“Mari, kita semuanya saling berbagi masukan dan bertukar pikiran. Tentunya, kita semua perlu ikut serta mengawal dan mendampingi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar tidak mental lagi untuk disahkan dalam sidang paripurna,” imbau Giwo Rubianto.
Pengesahan RUU TPKS, lanjut dia, membutuhkan partisipasi dan sinergi dari seluruh stake holders, baik itu Kowani, aparat penegak hukum, bahkan masyarakat.