Lestarikan Adat dan Benda Peninggalan Melalui Wisata di Desa Napo

Jawapos TV

Ada sejumlah desa wisata di Jatim yang bertema desa adat. Salah satunya, Desa Napo, Kecamatan Omben, Sampang, yang menyajikan sejarah peradaban panjang di Pulau Madura.

STATUS desa adat memang cukup pantas disematkan untuk Desa Napo. Sebab, di sana terdapat dua adat yang masih dilestarikan hingga sekarang. Yakni, ngoras somber atau bersih-bersih sumur dan panjhe’ rajeh.

Dua tradisi luhur yang digelar setiap tahun tersebut merupakan peninggalan Buju’ Napo atau Kiai Abdul Jabbar, tokoh ulama karismatik dan berpengaruh yang hidup pada masa Pangeran Trunojoyo sekitar 1500 Masehi.

Ada beberapa ritual yang dilakukan keturunan Buju’ Napo dan masyarakat sekitar. Adat tersebut digelar menjelang musim hujan dan musim tanam.

”Ngoras somber biasanya sebelum hujan pertama turun. Biasanya ritual dilakukan Jumat Legi,” kata Kepala Desa Napo Laok Abdul Basid, Kamis (12/3).

Kegiatan ngoras somber diawali dengan membersihkan area Sumber Napo dan Sumber Penyepen. Kemudian, dilanjutkan pencabacaan macopat yang digelar di dekat sumber. Pada waktu yang bersamaan, dilaksanakan khatmil Quran di pesarean almarhum Buju’ Napo.

Menurut dia, tujuan ritual adat tersebut adalah berdoa kepada Yang Mahakuasa agar sumber air terus mengalir dan air hujan yang turun lancar. ”Ritual ini seperti selamaten. Setelah ritual selesai, kita makan bersama,” ujarnya.

Berita Terkait :  Inilah Jembatan-jembatan Mengerikan yang Mampu Uji Adrenalinmu

Di sumber tersebut, ada beberapa sejarah yang berkaitan dengan Buju’ Napo. Di antaranya, bekas tumit Buju’ Napo di batu saat mandi di sumber tersebut. Sampai saat ini, batu tersebut masih ada di sekitar sumber.

Selain itu, setiap tahun di desa tersebut berlangsung tradisi panjhek rajeh. Kegiatan itu dimulai dengan menanam bibit padi di sawah peninggalan Buju’ Napo. Diperkirakan, luas sawahnya mencapai 1 hektare. Masyarakat dan keturunan Buju’ Napo ikut menanam bibit padi.

Namun, tidak semua sawah diselesaikan sekaligus. Biasanya disisakan satu kotak sawah untuk dituntaskan keesokan harinya. Di situlah beberapa ritual dilakukan. Saat malam, dibacakan macapot atau mamaca. Keesokan harinya, empat tombak peninggalan Buju’ Napo diarak ke sawah. Yakni, Si Nonggososro, Si Mendolo, Si Drajan, dan Si Buntut. ”Tombak itu nanti ditancapkan di sudut sawah yang belum ditanami bibit,” terang Abdul Basid.

Setelah itu, dilanjutkan tari kenceng. Ritual panjhe’ rajeh diakhiri dengan menuntaskan penanaman bibit yang tersisa satu kotak sawah tersebut.

Berita Terkait :  Wisata di Payakumbuh Untuk Keluarga: Tiket Masuk, Daya Tarik, Lokasi

”Ritual ini menjadi pembuka musim tanam di sini (Napo Laok). Kalau sawah Buju’ belum selesai ditanami, sawah yang lain tidak boleh menanam,” ungkapnya.

Pria yang menjabat ketua Banser Kecamatan Omben itu menambahkan, ritual tersebut tengah dikembangkan menjadi wisata adat desa. Diproyeksikan, usaha itu bisa berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Kabid Kebudayaan Disporabudpar Sampang Rohikum Mahtum menegaskan, pemerintah ikut men-support pengembangan wisata desa adat di Napo. Sejumlah pembenahan dilakukan. Di antaranya, pelebaran jalan menuju desa. ”Kami segera perbaiki paving di makam Buju’ Napo. Dan program lain yang dilaksanakan secara bertahap,” tandasnya.

Menjaga Peninggalan Berusia 521 Tahun

Rumah model kuno yang terbuat dari kayu berdiri di antara masjid dan rumah-rumah warga. Bangunan itu hanya memiliki satu kamar. Di sana, terdapat tiga lemari berbeda ukuran yang berjejer dekat di dinding bagian utara. Empat kayu menjulang ke atap menjadi penyangga rumah.

”Si Nonggososro, Si Mendolo, Si Drajan.” Tiga nama pertama itu diucapkan R. Abdul Basid sambil menunjuk tombak yang membentang di antara tiang penyangga rumah sebelah timur.

Berita Terkait :  4 Museum di Bandung Untuk Mengisi Liburan, Berikut HTM dan Lokasinya

Kemudian, Basid bergeser ke tiang sebelah barat dan menunjuk dua tombak lainnya. ”Ini Si Omben dan Si Buntut,” ucap sosok yang mengaku keturunan kesebelas Buju’ Napo.

Berdasar cerita turun-temurun, lima tombak tersebut merupakan salah satu benda peninggalan Buju’ Napo atau Kiai Abdul Jabbar. Benda pusaka yang ada di ruangan itu tidak hanya tombak. Ada keris, celurit, pecut, hingga pentungan terpampang di dinding ruangan.

Selain tombak, Buju’ Napo mewariskan dua pecut yang dikenal dengan nama Se Kelap dan Se Bentar Alam. Basid tidak menjelaskan asal usul nama dua pecut tersebut. Namun, kedua pecut memiliki cerita bersejarah.

Baca Juga: Tangis Haru Aurel Hermansyah Saat Dilamar Atta Halilintar

Sejarawan Sampang Fudalli Hafid menilai benda-benda pusaka peninggalan dan cerita tentang Buju’ Napo tersebut mendekati benar. ”Meski hanya berlandas cerita turun-temurun, kecenderungan orang-orang zaman dulu untuk mengada-ada sangat kecil,” katanya.

Benda-benda bersejarah di Buju’ Napo tersebut diperkirakan berusia lebih dari 521 tahun. Karena itu, Fudalli mendorong benda-benda tersebut diteliti agar terus dilestarikan.

Related posts