Juventus Bakal Andalkan Bek Sayap untuk Hadapi Real Madrid di Final Liga Champions

Babatpost.com – Si Nyonya Besar Atau Juventus tampil mempesona sepanjang Pertandingan Liga Champions 2017, tingga selangkah lagi tim asal Italia ini mampu mengangkat Trofi Juara. Namun Juventus harus melawan Rintangan besar Yakni mengalahkan Real Madrid di babak final.

Juventus melangkah ke babak final setelah pada babak semifinal menyingkirkan wakil Prancis, AS Monaco. Pada leg pertama, skuat asuhan Massimilliano Allegri ini meraih kemenangan 2-0. Pada leg kedua, Juve menang dengan skor 2-1. Sebelumnya, pada perjalanannya ke partai puncak yang berlangsung di Cardiff, Wales, Juve berhasil menyingkirkan Sevilla, Dinamo Zagreb dan Olympique Lyon di fase grup, serta menaklukkan FC Porto, dan Barcelona pada fase gugur.

Read More

Di laga final, Juventus pun cukup diunggulkan meski lawan yang dihadapi adalah Real Madrid, kesebelasan tersukses di Liga Champions dengan 11 gelar. Lantas, apa yang membuat Bianconeri bisa melenggang sempurna ke partai final?

Kekuatan: Fleksibilitas Pola Permainan untuk Mengokohkan Pertahanan

Para penggawa Juventus menghadapi laga ini dengan lebih percaya diri dibanding 2015, ketika ditaklukkan Barcelona pada partai final Liga Champions. Hal ini tak mengherankan karena dari 12 laga yang mereka jalan di Liga Champions musim ini, tak sekalipun Gianluigi Buffon mengalami kekalahan. Juve meraih sembilan kemenangan dan tiga kali hasil sering pada Liga Champions musim ini. Catatan ini sedikit lebih baik dari sang lawan, Real Madrid, yang menelan satu kekalahan di 12 laga mereka.

Juventus punya keseimbangan dari segi pertahanan maupun menyerang pada musim ini. Selain gelontoran gol yang membuat lawan-lawan Si Nyonya Tua gigit jari, Juve juga sangat sulit dibobol lawan. Tercatat hanya tiga gol saja yang bersarang ke gawang Buffon dari 11 laga (satu laga lain pos penjaga gawang diisi oleh Neto Murara yang mencatatkan clean sheet).

Berita Terkait :  Mampukah Real Madrid Dominasi Eropa

Tiga gol yang merobek jala Juve memang menempatkan mereka menjadi kesebelasan dengan kebobolan tersedikit kedua, di bawah FC Kobenhavn yang hanya kebobolan dua gol. Namun perlu diketahui, kesebelasan asal Denmark tersebut hanya bermain enam laga, langsung tersingkir sejak fase grup, tak seperti Juventus yang menjalani pertandingan dua kali lipat lebih banyak untuk mencapai partai final.

Lini pertahanan memang menjadi salah satu kunci keberhasilan Juventus pada musim, tak terkecuali di Liga Champions. Lini serang lawan-lawan yang mereka hadapi berhasil dibuat tak berkutik. Barcelona yang mengandalkan Trio MSN (Lionel Messi, Luis Suarez dan Neymar), tak bisa mencetak sebiji gol pun dalam dua leg perempat final. AS Monaco yang mencetak lebih dari 100 gol pada musim ini, hanya sekali saja membobol gawang Buffon. Torehan sembilan clean sheet dari 12 pertandingan Liga Champions memang menjadi catatan cemerlang Juventus.

Saat bertahan, Juventus memang terpaku pada barisan terakhir pertahanan plus gelandang bertahan. Bisa dibilang, ke-10 pemain lapangan Juventus punya peran masing-masing dalam membentuk pola pertahanan ketika mendapatkan serangan lawan. Jarak antar pemain yang rapat membuat lawan tak berkutik untuk menciptakan peluang di area kotak penalti.

“Tak penting kami memasang tiga atau empat bek di lini pertahanan, semuanya relatif. Kesebelasan ini bertahan dengan 11 pemain,” ujar bek Juventus, Giorgio Chiellini, pada laman resmi Juventus.

Apa yang dikatakan Chiellini memang bukan omong kosong belaka. Formasi dasar di awal pertandingan tak menjadi patokan khusus posisi pemain saat tak menguasai bola, baik itu kala bermain dengan 3-4-3 maupun 4-2-3-1. Saat bertahan, Juve bisa terlihat memakai pola 4-4-2 atau 5-3-2.

Fleksibilitas pola pertahanan ini tak lepas dari gaya pertahanan Juventus yang lebih man-oriented saat melakukan penjagaan pemain, bukan zonal marking. Sebagai contoh, Dani Alves berhasil mematikan winger kiri Barcelona, Neymar, dengan terus mengikuti pergerakan kapten timnas Brasil tersebut.

Alves, juga Alex Sandro yang menempati posisi full-back kiri (terkadang dilakukan oleh Mario Mandzukic), memegang peranan penting dalam transisi dari menyerang ke bertahan Juventus. Keduanya bertugas untuk menekan pemain sayap lawan yang sedang menguasai bola, sebagaimana kesebelasan-kesebelasan yang banyak menggunakan pola 4-3-3 atau 4-2-3-1. Saat full-back menekan, pemain lain menjaga jarak antar pemain untuk lebih dekat (narrow) baik itu menjadi 5-3-2 maupun 4-4-2.

Berita Terkait :  Barcelona Keok, Xavi Hernandez Akui Ketangguhan Bayern Munich

Dalam pertahanan Juventus, bentuk dan pola pertahanan lebih penting ketimbang tekel-tekel agresif, karena Juve lebih berupaya merebut bola dengan memotong jalur operan lawan. Karenanya lini tengah Juve tak diisi oleh gelandang-gelandang perebut bola seperti N’Golo Kante atau Casemiro di Real Madrid. Juve justru memainkan gelandang bertahan yang soft seperti Sami Khedira atau gelandang kreatif seperti Miralem Pjanic/Claudio Marchisio yang menjaga kedalaman di lini tengah. Skema ini cukup efektif. Buktinya, di Liga Champions Juve mencatatkan 172 intersep (terbanyak kelima) dan 247 sapuan (terbanyak keempat).

Allegri juga bisa membuat anak asuhnya adaptif dalam menghadapi gaya permainan lawan. Ketika melawan kesebelasan yang mengandalkan possession, seperti ketika melawan Barcelona, Juventus bisa tampil lebih agresif dengan menekan hingga area pertahanan lawan. Namun menghadapi Monaco yang lebih direct, Juventus memainkan garis pertahanan rendah.

Kokohnya pertahanan ini disempurnakan dengan pemain-pemain menyerang yang saling mengisi satu sama lain. Peran full-back atau wing-back yang biasanya diisi oleh Alex Sandro dan Daniel Alves lagi-lagi punya peran besar saat menyerang. Agresivitas keduanya sering membuat Juve mampu menciptakan celah di lini pertahanan lawan.

Ini tak lepas dengan gaya permainan Paulo Dybala, Mario Mandzukic dan Gonzalo Higuain, atau Juan Cuadrado jika memakai skema empat bek, lebih banyak men-delay bola. Dengan memberikan kesempatan pemain sayap seperti Alves dan Sandro membantu penyerangan, Juve bisa unggul jumlah pemain di lini pertahanan lawan. Ini yang kerap memembuat Juventus mencetak gol yang relatif mudah. Bahkan tak jarang juga Alves dan Sandro-lah yang mengancam lini pertahanan lawan, ketika Higuain, Dybala, dan Mandzukic berhasil mengacaukan penjagaan pemain di area kotak penalti.

Kelemahan: Jika Alves dan Sandro Tak Berdaya….

Seperti yang sudah di atas, full-back atau wing-back Juventus yang biasanya diisi oleh Alex Sandro dan Dani Alves punya peranan penting dalam menjaga keseimbangan Juventus dalam menyerang maupun bertahan. Karenanya jika Alex Sandro dan Alves sedang tidak dalam performa terbaiknya, Juve akan kewalahan menjalankan sistem yang biasa mereka rancan untuk menjaga kerapatan sambil menguatkan sayap.

Berita Terkait :  Kalahkan PSG, Ini Rekor Baru Ronaldo Kalahkan Messi

Contoh sahihnya adalah ketika laga Serie A melawan AS Roma, Juve takluk dengan skor 3-1. Saat itu Juve memainkan Stephan Lichtsteiner dan Kwadwo Asamoah di kedua full-back dalam pola dasar 4-2-3-1. Namun karena Roma berhasil terus menekan Asamoah dan Lichtsteiner lewat permainan agresif para pemain sayap mereka, yang kala itu memainkan Mohamed Salah dan Stephan El Shaarawy. Berkat teror yang terus dilancarkan lewat kedua sayap, Lichtsteiner dan Asamoah kesulitan membantu penyerangan Juventus. Pola pertahanan pun kacau ketika keduanya coba membantu lini serang, merepotkan Leonardo Bonucci dan Medhi Benatia yang menjadi duet di jantung pertahanan pada laga tersebut.

Memainkan Alves dan Sandro tentu akan berbeda dengan duet Lichsteiner dan Asamoah. Walau begitu, jika Real Madrid bisa memberikan tekanan konstan keduanya, keseimbangan Juventus bisa terganggu. Juve menjadi harus memilih, antara mengokohkan pertahanan tapi kesulitan menyerang atau menajamkan lini serang tapi rentan di lini pertahanan.

Memilih salah satu di antara dua pilihan di atas sama-sama memiliki risiko. Jika kedua bek sayap fokus pada pertahanan, praktis para pemain yang diandalkan menyerang tinggal Higuain, Dybala, Mandzukic, dan salah satu di antara Sami Khedira atau Miralem Pjanic. Sementara itu jika bek sayap hanya difungsikan untuk menguatkan lini serang, Juve tidak memiliki gelandang bertahan perebut bola yang bisa menetralisasi serangan lawan ketika melakukan transisi dari menyerang ke bertahan.

Real Madrid tentu punya potensi untuk mengeksploitasi kelemahan Juventus ini. Selain punya para pemain sayap seperti Cristiano Ronaldo, Gareth Bale (belum fit 100%), dan Lucas Vazquez, kesebelasan berjuluk Los Galactios ini punya Dani Carvajal dan Marcelo, duo full-back yang bisa meningkatkan ancaman untuk sektor sayap pertahanan lawan.

Related posts