Candi Sewu Klaten, Mahakarya Penanda Tingginya Peradaban di Abad Ke-8

Candi Sewu Klaten, Mahakarya Penanda Tingginya Peradaban di Abad Ke-8

Klaten tidak hanya dikenal sebagai salah satu pusatnya objek wisata air di Jawa Tengah. Kabupaten ini juga memiliki sederet candi yang begitu megah. Candi Sewu di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, adalah salah satunya.

Read More

CANDI yang satu ini terletak di kompleks Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan. Berstatus sebagai candi Buddha terbesar kedua di Indonesia setelah Candi Borobudur di Magelang.

Meski masih satu kompleks, jarak antara Candi Prambanan ke Candi Sewu cukup jauh. Tapi, jangan khawatir. Ada sejumlah alternatif transportasi yang bisa dimanfaatkan untuk menuju ke sana.

Wisatawan bisa menaiki mobil listrik dengan membayar sekitar Rp 20.000 per orang. Bisa juga menyewa sepeda. Atau, jika ingin menikmati suasana, para traveler bisa berjalan kaki.

Pintu masuk menuju candi tersebut berada di empat penjuru mata angin. Gerbang utamanya berada di sisi timur. Setiap pintu masuk ”dikawal” oleh sepasang arca Dwarapala yang menyambut kedatangan wisatawan saat memasuki kompleks candi tersebut.

Nama Sewu merujuk pada jumlah candi di kompleks itu yang disebut-sebut mencapai seribu, merujuk pada kisah legendaris Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.

”Candi Sewu termasuk unik. Meski disebut sewu, jumlah candinya tak sampai seribu,” kata Humas Komunitas Pemerhati Cagar Budaya (KPCB) Klaten Hari Wahyudi.

Menurut Hari, Candi Sewu merupakan salah satu bangunan bersejarah yang sangat recommended untuk dikunjungi. Tak hanya untuk berwisata, tapi juga belajar tentang sejarah peradaban nenek moyang di Nusantara yang begitu tinggi.

Dari bentuk dan modelnya, candi-candi di kompleks Candi Sewu sangat mirip dengan bangunan serupa yang terdapat di negara-negara di kawasan yang dulu dikenal sebagai Indochina, yang notabene merupakan pusat persebaran Buddha. Misalnya, di Myanmar dan Kamboja. ”(Ciri khasnya, Red) ada bentuk kubah di bagian atasnya,” ucapnya.

Di Candi Sewu terdapat 1 candi induk, 240 candi perwara, 4 pasang candi apit, dan lainnya. Kondisi beberapa bagian candi perwara saat ini tidak utuh lagi. Tetapi, tetap menarik untuk ditelusuri.

Selain itu, kata Hari, jika dicermati lagi secara saksama, pada bagian dinding candi induk tidak terdapat relief yang menceritakan kisah atau cerita tertentu. Tetapi, hanya berbentuk polosan tanpa adanya pahatan. Bentuk tersebut merupakan arsitektur khas candi klasik. Sementara itu, pada candi perwara terdapat motif sulur dan tumbuh-tumbuhan.

Kelebihan Candi Sewu terletak pada pelataran utamanya yang berupa batuan. Hal itu menjadi penanda bahwa dulu area tersebut hanya boleh dimasuki golongan tertentu. Berbeda halnya dengan candi-candi lain yang pelatarannya biasanya berupa tanah.

Karena itu, sangat sayang jika para wisatawan yang datang ke Candi Sewu hanya untuk berswafoto. ”Tetapi, penting juga memahami peninggalan nenek moyang kita yang mahaluhur. Bayangkan saja di abad ke-8, sudah mendirikan mahakarya semegah ini,” ucap Hari.

Karena Klaten Dulu Adalah Pusat Pemerintahan

SELAIN Candi Sewu, ada begitu banyak candi bercorak Buddha yang terdapat di Kabupaten Klaten. Misalnya, Candi Lumbung, Candi Gana, Candi Plaosan, hingga Candi Sojiwan.

Deretan candi itu menjadi penanda bahwa pada zaman dulu Klaten adalah Kota Buddha sekaligus bukti bahwa kabupaten tersebut sebagai pusat peradaban. ”Pusat pemerintahan Rakai Panangkaran ada di wilayah Klaten,” ujar Humas Komunitas Pemerhati Cagar Budaya (KPCB) Klaten Hari Wahyudi.

Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 atas perintah penguasa Kerajaan Mataram Rakai Panangkaran. Seperti candi-candi lainnya, bangunan itu menjadi tempat ibadah dan ritual keagamaan masyarakat yang notabene adalah umat Buddha. Baik di masa kebesarannya maupun hingga sekarang.

Misalnya, di Candi Sewu. Pada bagian candi induk terdapat sebuah ruang utama di bagian tengah yang dulu diyakini terdapat arca Bodhisattwa Manjusri atau Buddha berbahan perunggu.

CIRI KHAS: Candi Sewu memiliki ciri khas berupa sebuah kubah di bagian atasnya. Mirip dengan bangunan lain di negara-negara yang jadi pusar persebaran Buddha. (M. Ihsan/Jawa Pos Radar Solo)

Tetapi, saat ditemukan oleh para ahli dari Belanda pada 1804, bagian tersebut sudah kosong. ”Meski demikian, hal itu tak menghilangkan fungsi Candi Sewu sebagai tempat ibadah dan ritual keagamaan umat Buddha hingga saat ini,” kata Hari.

Selain sebagai bukti tingginya peradaban, berdirinya Candi Sewu juga selalu dikaitkan dengan sebuah legenda yang masyhur, kisah antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.

Cerita singkatnya, Bandung Bondowoso yang baru saja menginvasi Kerajaan Prambanan hendak meminang Roro Jonggrang. Namun, Roro Jonggrang meminta satu syarat, Bandung Bondowoso harus membuat seribu candi dalam semalam. Candi tersebut harus selesai sebelum matahari terbit.

Syarat itu pun disanggupi. Bandung Bondowoso yang dibantu bala bantuan jin nyaris saja berhasil menyelesaikan seribu candi. Namun, saat tinggal menyisakan satu candi, Roro Jonggrang membangunkan ayam-ayam agar berkokok sehingga seolah-olah matahari hendak terbit.

Tak ayal, jin-jin yang membantu Bandung Bondowoso pun langsung pergi. Tahu kecurangan itu, Bandung Bondowoso pun mengutuk Roro Jonggrang menjadi patung. Namun, jika mengacu pada prasasti-prasasti yang ditemukan, nama asli Candi Sewu adalah Prasada Vajrasana Manjusrigrha.

SISI LAIN CANDI SEWU

– Kompleks Candi Sewu berada di atas lahan seluas 3,05 hektare.

– Dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra.

– Seluruh bangunan Candi Sewu berbahan dasar batu andesit.

– Saat ini Candi Sewu masuk dalam kompleks Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan.

TIKET MASUKNYA SEBAGAI BERIKUT

– Pengunjung berusia di bawah 10 tahun Rp 25 ribu/orang.

– Pengunjung berusia di atas 10 tahun Rp 50 ribu/orang.

Related posts