BabatPost.com-Bruak! Aji Santoso tersungkur. Kacamatanya lepas. Dia baru saja mendapat tendangan. Kakinya digasruk oleh Rendi Irwan.
Aji bangkit. Mengambil kacamatanya. Lalu menatap Rendi dengan wajah merah. Wes kudu misuh.
Semua pemain Persebaya Surabaya terdiam. Latihan mandek. Tidak ada suara. Belum sampai Aji bicara, Rendi tiba-tiba nyeletuk: Sampean laopo, wayae pemain shooting kok malah nang tengah lapangan? (Anda ngapain, waktunya pemain shooting kok malah di tengah lapangan?)
Suasana semakin tegang. Kok malah Rendi yang misuhi pelatih? Aji yang sempat panas kemudian menjawab: Oh iyo sih, laopo aku kok nang tengah iki mau? (Oh ya sih, ngapain saya kok di tengah ini tadi?)
Suasana langsung cair. Pemain, pelatih, dan ofisial tim tertawa bersama. Momen itu terjadi di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo. Itu latihan tim sebelum turnamen Piala Menpora 2021.
Saat itu, tim sedang latihan shooting. Coach Aji berada di depan kotak penalti. Bola yang diumpan untuk Rendi lebih dekat ke pelatih 51 tahun itu. ’’Gak salah toh Mas nek akhire coach Aji tak tabrak?’’ (Tidak salah kan Mas kalau akhirnya coach Aji saya tabrak?).
Dia bilang seperti itu ke saya dengan nada datar. Sedikit nggegek. Merasa tidak bersalah sama sekali.
Rendi memang seperti itu. Ceplas-ceplos. Senang guyon. Senang misuh. Rawon. Satu lagi: raja usil. Siapa pemain Persebaya yang belum pernah jadi korban Rendi? Tidak ada. Jangankan pemain, almarhum Mbah Madrai alias Mbah Mad saja pernah ’’digarap’’. Saya sempat berkunjung ke rumah Mbah Mad pada Juni 2020. Almarhum kenyang dijahili Rendi.
Ada satu momen yang paling dia ingat. Ketika latihan pada pertengahan musim 2018. Mbah Mad berjalan ke arah Rendi. Tiba-tiba Rendi berteriak, ’’Mbah Mad, awas onok bal. Mlayu!’’
Mbah Mad yang berusia 70 tahun lari tergopoh-gopoh. Rendi ngakak. Tapi, mata Mbah Mad berdarah. Bekas jahitan operasi kataraknya hampir lepas. Dia kemudian mendapat perawatan medis.
Apa Mbah Mad dendam? ’’Aku gak iso benci karo Rendi. Arek iku yowes ngono iku,’’ begitu kata almarhum kepada saya kala itu. Sekali lagi, Rendi memang begitu. Seperti itu. Walaupun jahil, tidak ada yang mangkel. Justru jadi pencair suasana.
Tapi, kejahilannya kadang membuatnya jadi ’’tersangka’’. Seperti latihan di SIER awal 2019 lalu. Pemain dan pelatih mendapat jatah nasi kotak. Kebetulan, nasi kotak jatah coach Djanur raib.
Tidak ada yang tahu ke mana nasi kotak itu. Coach Djanur sendiri bingung. Saat sesi latihan berakhir, pemain berkumpul. Coach Djanur kemudian nyeletuk, ’’Sudah gak usah pura-pura. Aku wes ngerti siapa yang ngambil nasi kotakku.’’
Djanur bilang seperti itu sambil memandangi Rendi. Rendi bingung. ’’Padahal asli, aku nggak pegang nasi kotaknya coach Djanur blas,’’ ucap Rendi kepada saya. Saya sih percaya. Tapi, itulah risiko jadi orang paling usil.
Tapi jangan salah. Rendi tak hanya dikenal usil. Dia juga jadi sosok yang paling dihormati. Kecil, tapi berkarisma. Dia adalah jembatan. Jembatan pemain dengan manajemen. Jembatan pemain baru ke pemain lama. Pun, jembatan pemain ke media.
Jika performa Persebaya anjlok, siapa pemain yang berani speak up? Rendi!
Pengaruhnya besar. Jika ada penggawa anyar, dia juga punya tugas khusus: memperkenalkan gaya Suroboyoan. Di Persebaya harus gini. Di Persebaya nggak boleh gitu.
Saat pemain ada masalah, Rendi jadi orang pertama yang disambati. Ingat saat Abu Rizal Maulana tiba-tiba meninggalkan tim saat Piala Menpora 2021 bergulir? Rendi adalah satu-satunya sosok yang dicurhati. Dia tahu Rodeg bakal pergi.
Saya juga ingat momen musim 2018. Saat Persebaya baru saja hat-trick kekalahan di pekan ke-18. Jawa Pos bikin meme Bonek Mewek. Satu halaman. Apartemen Marina digeruduk. Setelah itu, Angel Alfredo Vera dipecat. Chairul Basalamah juga didepak. Suasana tim tidak kondusif.
Rendi lalu punya inisiatif. Mengumpulkan beberapa pemain senior di Kota Batu. Refreshing, sekaligus cari solusi. Kenapa sih tim ini? Bagaimana hasilnya? Persebaya mampu finis di posisi kelima musim itu.
Bahkan, tugas remeh saja dipasrahkan ke Rendi. Contoh, datang dari tim media ofisial Persebaya. Mereka ingin bikin video. Memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Bonek. Siapa yang disambati? Rendi.
Dia diminta mengumpulkan semua pemain untuk take video. Apakah semua pemain menurut? Jelas. Rendi sangat disegani oleh pemain lain. Istilah Surabaya-nya: Digawe tuek-tuekan. Sekarang, siapa yang jadi tuek-tuekan?
Makanya, saat Rendi pamit, hati ini langsung makjleb. Kebetulan, saya juga berada di hotel tempat Persebaya menginap di Denpasar. Tahu bagaimana harunya momen pamitan itu.
Semua elemen berebut foto dengan Rendi. Ingin mengabadikan momen dengan pemain legenda. Pemain yang membela Persebaya saat tidak diakui PSSI. Kapten yang membawa Persebaya juara Liga 2 2017. Ikon Persebaya di era modern.
Laga kontra Borneo FC (30/3) jadi momen terakhirnya. Persebaya kalah 1-2. Rendi juga tidak diturunkan. Saya langsung mbatin: Apakah pantas seorang legenda berpisah dengan cara seperti itu?
Setelah laga tersebut, saya bertemu Rendi. Dia meminta maaf. Njaluk sepuro kalau memang banyak salah. Kami salaman, lalu berpelukan. Kini tidak akan ada lagi si raja usil. Latihan mungkin akan sedikit tegang. Saya yakin semua akan merindukan sosoknya. Sebelum berpisah, saya bilang: Suwun Cak. Gok onok maneh kapten sing lucu koyok sampeyan…(*)