BabatPost.com – Produser film yang juga Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Chand Parwez, mengeluhkan masalah perpajakan di Indonesia khususnya untuk dunia perfilman yang dianggapnya cukup unik.
Menurutnya, pajak perfilman yang berlaku di Indonesia belum proporsional dan belum memenuhi aspek keadilan. Sebab yang dikenakan pajak adalah dari penjualan. Sementara biaya produksi film nilainya terkadang cukup besar.
“Perpajakan di Indonesia rada unik. Pada saat kita buat program, yang dipajak itu pajak penghasilannya, PPh. Harusnya yang dipajak itu keuntungannya, bukan dari harga jualnya,” kata Chand Parwez saat ditemui di Kongres BPI di bilangan Central Park Jakarta Barat Jumat (25/3).
Dia juga mengungkapkan rumah produksi sejak 2007 silam selalu menjual karya mereka dengan sistem jual beli putus kepada stasiun televisi. Karena jika menerapkan sistem lisensi, akan dikenakan PPh sebesar 15 persen dan itu sangat memberatkan.
“Kita sering jual putus ke program televisi. Karena kalau dijual lisensi, kena pajak PPh 15 persen, dan seringkali itulah keuntungan kita. Makanya kita jual putus dan kita hanya kena PPN doank kalau jual putus,” paparnya.
Jika sistem perpajakan model ini masih terus diterapkan di Indonesia, Chand Parwez yakin sistem jual beli putus akan terus dilakukan untuk menghindari dikenakan pajak PPh sebesar 15 persen.
“Produksi film ini kan banyak elemennya. Pada saat produksi pun ada elemen yang juga sudah kena pajak. Yang saya khawatirkan, kalau ini terus terjadi kita hanya dapat hak moral doank, hak ekonominya jadi hilang,” paparnya.
Secara garis besar Chand Parwez mengapresiasi pencapaian yang sudah diraih industri perfilman tanah air. Kendati sempat terdampak oleh pandemi Covid-19, namun semangat selineas dalam industri perfilman sejatinya tetap selalu menyala.
“Ada film film Indonesia yang mendapat penghargaan di dunia internasional. OTT juga sangat menarik. Ada OTT lokal kita ada yang ekspansi ke dunia internasional,” paparnya.