Itulah ungkapan yang langsung dilontarkan salah seorang tokoh Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) sesaat setelah terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 22-24 Desember 2021. Pernyataan menjelang Hari Lahir ke-96 NU pada 31 Januari 2022 itu agaknya tidak perlu terlontar bila “memahami” sosok Gus Yahya melalui buku Biografi KH Yahya Cholil Staquf – Derap Langkah dan Gagasan yang merupakan karya: Septa Dinata (LKIS, 2022).
Dalam buku itu, khususnya halaman 79-83, Gus Yahya menunjukkan bagaimana ia tidak melihat soal Israel dari dimensi politik, karena mantan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu tahu bahwa hubungan diplomatik Indonesia-Israel itu tidak ada, karena Indonesia mengakui kemerdekaan Palestina. Ia tahu itu.
Namun, ia melihat soal Israel itu dari akar masalah terkait sentimen Israel-Palestina yakni agama, lalu mengikhtiarkan solusi. Kedua agama itu saling mengutarakan kebencian. Bahkan orang Indonesia yang mungkin tidak kenal seorang Yahudi pun ikut-ikutan membenci Yahudi karena alasan agama. Kalau membenci Yahudi itu dapat pahala, kalau enggak membenci Yahudi berarti kafir. Sebaliknya, kalangan Yahudi merasa ras mereka yang paling (tinggi). Di situlah konteksnya.
Dalam buku itu lebih jauh ditunjukkan bahwa sosok Gus Yahya tidak hanya berkunjung ke Israel, tapi juga malang melintang di pentas dunia sejak bersama Gus Dur ke Amerika, Eropa, dan Vatikan. Bahkan, Gus Yahya juga tegas mengkritik pendekatan Amerika Serikat. Ia mengkritik Amerika yang dinilai terlalu bertumpu pada pendekatan militer.
“Pendekatan ini (militer) tak akan banyak berdampak, bahkan bisa membuat situasi semakin kompleks, karena pendekatan ini mengabaikan aspek ideologis yang tak kalah penting,” kata Gus Yahya yang beberapa kali juga mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam forum-forum penting di Eropa.
Pada 10 Juni 2018, Gus Yahya diundang American Jewish Committee (AJC) atau Komite Yahudi Amerika. Keputusannya memenuhi undangan tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan komunitas Muslim di Indonesia, termasuk ulama-ulama NU.
Sebenarnya, Gus Yahya bukanlah orang pertama, karena Gus Dur juga pernah diundang memberikan pidato dalam forum tersebut pada 2002 di Washington DC. Bahkan, Gus Dur juga pernah diundang datang langsung ke Israel oleh Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai Israel-Yordania pada tahun 1994 (Barton, 2007).
Sepulang dari Israel, Gus Yahya sowan ke sejumlah kiai. Setelah dijelaskan dengan baik, sejumlah kiai dapat mengerti dengan agendanya di Israel. Bahkan, sejumlah kiai malah berbalik mendukung kegiatan tersebut dan meminta Gus Yahya untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU.
Dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh NU di pesantren-pesantren terkemuka itu, Gus Yahya memberikan sejumlah penjelasan. Forum AJC itu sangat strategis dan berdampak luas, khususnya dalam politik Amerika Serikat dan kebijakan-kebijakan Barat di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah. Setiap calon presiden di Amerika Serikat biasanya berpidato dalam forum tersebut karena besarnya pengaruh komunitas tersebut secara politik.
Secara de facto, buku itu mengurai pengaruh besar Israel di Timur Tengah. Di Indonesia sendiri banyak yang mengira bahwa negara-negara Arab bermusuhan dengan Israel, padahal kenyataannya tidak. Bagi Gus Yahya, persoalan yang ada dan gagasan-gagasan untuk perdamaian Timur Tengah tak mungkin bisa disampaikan jika Indonesia atau komunitas Muslim di Indonesia tidak berhubungan baik dengan para pihak yang berkonflik, termasuk Israel. Itulah konteksnya.
Kepada para kiai, Gus Yahya menceritakan bahwa selama bertandang di Israel, dirinya tidak hanya menghadiri pertemuan AJC. Mendengar kedatangan Gus Yahya ke Israel, ia pun mendapat kontak dari berbagai kalangan. Dari sebelumnya rencana kunjungan ke Israel selama tiga hari menjadi satu pekan. Tak hanya itu, Gus Yahya memperluas jaringannya dengan berbagai kalangan sehingga waktu satu minggu tersebut diisi dengan berbagai pertemuan yang hampir tanpa jeda. Bahkan ada yang menyelenggarakan konser untuk menyambut kedatangan Gus Yahya di Israel.
Walhasil, kehadiran Gus Yahya pada kegiatan AJC menuai sukses. Paginya, sesi dialog bersama Gus Yahya dalam acara tersebut pada minggu malam diunggah di internet dan langsung viral di mana-mana. Gus Yahya pun sontak dikenal banyak orang di Israel. Ketika jalan-jalan, banyak orang yang meminta berfoto bersamanya. Di tengah sedang merokok di depan hotel bersama koleganya yang diajak pada saat itu, Gus Nadhif (Ahmad Nadhif) dan Gus Aun (Aunullah A’la Habib), tiba-tiba ada orang Indonesia yang membawa anak kecil ingin berfoto bersamanya dengan menggunakan jaket Banser.
Luasnya sambutan dan apresiasi masyarakat Israel terhadap Gus Yahya akhirnya sampai ke telinga Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Pada hari itu juga, Senin siang, Gus Yahya dikontak oleh Kantor Perdana Menteri Israel dan menyampaikan Netanyahu ingin bertemu dengan dirinya. Gus Yahya kemudian menerima undangan tersebut dan pertemuan pun diagendakan pada hari Kamis.
Pada hari Selasa, Gus Yahya mendapat kontak pula dari Kantor Presiden Israel yang meminta kesediaan dirinya untuk bertemu dengan Presiden Israel, Reuven “Ruvi” Rivlin dan juga menyampaikan bahwa Rivlin tidak mau didahului Netanyahu. Maka, pertemuan dengan Rivlin pun kemudian diagendakan pada Rabu.
“The Next NU”
Kepada para kiai, Gus Yahya menyampaikan bahwa semua yang ia lakukan pada tataran internasional tersebut adalah untuk mendapatkan berbagai macam akses ke lingkaran strategis internasional. Ia memandang bahwa Indonesia selama ini belum mendapatkan leverage apa pun di panggung internasional.
Lompatan pemikiran yang dilakukan Gus Yahya agaknya membuktikan NU yang akan segera memasuki usia Satu Abad (1926-2026) itu kini telah memiliki generasi-generasi pelintas sejarah yang bisa disebut “The Next NU” seperti lain KH Abdurrahman Kautsar, KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha’), Prof KH Nadirsyah Hosen, Gus KH Ahmad Muwaffiq, Gus Ulil Abshar Abdallah, KH Abdul Salam Shohib, KH Reza Zahid, KH A Fahrur Rozi Malang, dan puluhan nama lain yang bermunculan di era disrupsi.
Generasi “The Next NU” yang kini dikomandani Gus Yahya itu agaknya akan menjadi generasi pelanjut lompatan oleh Gus Dur dan KH Hasyim Muzadi yang arahnya membawa nilai-nilai NU ke tingkat global, sehingga NU sebagai kaum sarungan akan justru “menyarungi” dunia internasional dan dunia maya dengan nilai-nilai Islam berbasis NU, yang bukan sok benar atau bukan sok alim, tapi menawarkan Islam yang rahmah, ramah, berakhlak, dan berkarakter di tengah kemajemukan alam/mahluk.
“Sebagai komunitas Muslim terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, NU harus memiliki akses yang luas untuk bisa berkiprah dan berpengaruh secara internasional. Organisasi ini harus memberikan warna tersendiri terhadap berbagai dinamika yang berlangsung secara global, khususnya dalam isu-isu kekerasan dan perdamaian berbasis agama,” kata sosok yang ketokohannya di mata internasional di-leverage lewat forum AJC itu.
Menurut Gus Yahya, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, selama ini tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) di dunia internasional, khususnya terkait dengan isu-isu keagamaan. Dalam banyak kasus Indonesia hanya menjadi “Pak Turut” saja. NU harus mulai bergerak mengubahnya dengan memperkuat pengaruhnya di dunia internasional.
International reinforcement ini diharapkan dapat memicu dilakukannya perbaikan-perbaikan secara domestik untuk bisa lebih jauh melangkah di dunia internasional. Muslim di Indonesia harus berani untuk membuat tawaran-tawaran baru bagi berbagai permasalahan internasional. Indonesia tak perlu takut berkompetisi dengan gerakan-gerakan transnasional yang berasal dari negara lain, khususnya dari Timur Tengah.
Menapaktilasi Gus Dur, promosi Islam Wasathiyah yang dilakukan Gus Yahya di tengah menguatnya radikalisme dan ekstremisme di sejumlah negara Islam di Timur Tengah, akan menghadapi kendala atau kecaman seperti dialami Gus Dur dari segelintir orang di dalam negeri yang memuja formalisme. “Saya mengajak atau memperkuat gerakan perdamaian di tingkat akar rumput di masyarakat menjadi konsensus sosial. Semua orang mau perdamaian,” kata Gus Yahya.
Saat jadi pembicara dalam forum AJC di Israel itu, Gus Yahya bicara soal jalan “rahmah”. Dia mengajak dunia memilih jalan itu. “Kalau ini jadi konsensus sosial, aspirasi fundamental dari seluruh masyarakat, maka kita harapkan ini akan jadi penentu dari perilaku pemerintah dalam pergaulan internasional,” tutur Gus Yahya yang mengaku kunjungannya ke Israel itu intinya adalah mengajak orang mengubah pola pikir, termasuk ‘mindset’ Yahudi juga.
Ya, Gus Yahya dan “The Next NU” berikhtiar mengambil tugas “profetik” (penganjur kebaikan), yang beralih secara damai dari Al Qodimis Sholeh ke Al Jadidil Ashlah. “NU bukan firqoh, bukan kelompok yang harus tabrakan dengan kelompok lain, tapi NU adalah perahu untuk semua, sehingga semua setuju untuk ikut NU,” katanya dalam buku berjudul ‘Perjuangan Besar NU (PBNU)’ yang merupakan karya Gus Yahya sendiri.
Gus Yahya mengajak semuanya bicara kejujuran, Islam dan Amerika harus sama-sama bicara jujur, apa masalahnya, sehingga ada jalan keluar bersama-sama dan tanpa konflik yang meruntuhkan peradaban, seperti India yang menyimpan dendam pada Islam, tentu perlu dibicarakan dalam peradaban yang jujur, adil, berakhlak mulia, dan dengan kesetaraan hak, untuk bersama-sama menemukan solusi.
Agaknya, pendekatan dakwah Islam di tingkat dunia nyata dan maya yang dikomandani Gus Yahya itu tidak jauh dari apa yang selama ini disebut Islam Nusantara. Islam Nusantara yang selama ini dituduh rasis itu sesungguhnya bukan Islam baru, karena Rukun Islam dan Rukun Iman-nya sama, namun lebih pada pola dakwah dengan pendekatan budaya (budaya Nusantara) yang dalam Bahasa Alquran adalah Islam Rahmatan lil Alamin atau dalam versi Gus Dur adalah Islam Ramah/Rahmah, yang kini diperkenalkan dengan istilah “Islam Wasathiyah” atau Islam Moderat.
Gus Dur sendiri pernah menegaskan bahwa hal yang terpenting adalah Indonesia tidak boleh pecah dengan alasan apapun, termasuk karena alasan agama. Untuk mencapai itu, maka perjuangan memberlakukan ajaran Islam itu harus mengambil substansi, bukan teknisnya, agar tidak menjadi masalah terus.
“Jangan formalisasi hukum Islam, karena formalisasi Islam hanya untuk orang Islam, jangan formalisasi Islam menjadi hukum nasional, karena formalisasi itu rentan (di tengah kemajemukan), tapi bukan berarti kita membiarkan sekulerisasi, tapi Islam jangan membuat orang lain merasa terancam, Islam yang bisa diterima kelompok lain tanpa takut,” kata Gus Dur dalam berbagai kesempatan.
Ya, di dalam negeri, para Wali Songo sudah cukup berhasil dalam menerapkan Islam Rahmatan lil Alamin itu. Bagi Gus Yahya, NU sekarang harus keluar dari konstruksi parpol yang bersifat pengerahan massa, namun menjadi seperti konstruksi negara yang bersifat fungsional.
“Selain pendekatan damai dalam dakwah di tingkat global, maka NU di tingkat lokal harus berfungsi sebagai pelayan masyarakat dalam arti sesungguhnya, seperti membuat regulasi untuk akses layanan pro-rakyat dan mendorong sumber daya yang memberikan program-program untuk masyarakat, NU bukan sekadar simbol atau batu loncatan, tapi benar-benar fungsional untuk bangsa dan negara,” katanya.
Selamat Hari Lahir ke-96 NU pada 31 Januari 2022. Selama memasuki “gerbang” Abad Kedua NU pada 31 Januari 2026 untuk kebaikan jamaah di Indonesia, jamaah di dunia, dan jamaah di dunia maya.