“Kontestasi politik di Pilgub DKI Jakarta dan Pilpres 2019, terutama dengan adanya aksi massa 212, mengeskalasi perkembangan radikalisme di Indonesia,” kata Arijani.
Pernyataan tersebut ia utarakan ketika memaparkan hasil temuan penelitiannya dalam seminar riset bertajuk, “Pelibatan Remaja dalam Kejahatan Terorisme di Indonesia sebagai Designated Victim” yang disiarkan di platform zoom meeting dan dipantau dari Jakarta, Senin.
Ari, sapaan akrab Arijani, melakukan wawancara dengan empat orang perwakilan mantan anggota kelompok teror. Melalui wawancara tersebut, ia memperoleh informasi bahwa kelompok-kelompok radikal secara aktif membawa keempat orang tersebut untuk turut serta masuk ke pusaran kontestasi politik.
“Aksi massa 212 tidak bisa dipungkiri merupakan sebuah peristiwa yang muncul akibat carut-marutnya Pilgub DKI waktu itu,” ucap dia.
Para informan yang sebelumnya fokus pada kegiatan-kegiatan murni keagamaan, seperti memberantas miras dan judi, menjadi masuk ke jejaring radikal akibat peristiwa politik tersebut.
“Perkumpulan massa dalam kondisi yang sangat besar dan padat, serta di dalam media sosial menjadi perbincangan. Itulah yang saya potret sebagai eskalasi,” tuturnya.
Salah satu informan Ari yang merupakan mantan anggota kelompok teror memiliki inisial DR. Ari mengatakan bahwa DR mulai tertarik pada Islam radikal sejak berjejaring dengan simpatisan FPI, tepatnya ketika aksi massa 2021.
Setelah kekalahan Prabowo pada Pilpres 2019, tutur Ari melanjutkan, DR merasa kecewa dengan FPI dan beralih menjadi simpatisan ISIS.
Hasil wawancara tersebut membawa Ari pada simpulan bahwa pergolakan politik dapat menjadi pemicu perkembangan gerakan radikalisme di Tanah Air, khususnya radikalisme yang melibatkan remaja.
“Inilah konteks sosial yang patut menjadi kewaspadaan. Ke depan akan ada kontestasi politik 2024, ini perlu menjadi perhatian bagi kita semua. Potensi ancamannya mungkin meningkat terkait remaja dan radikalisme,” kata Ari.