BabatPost.com-Di usia 17 tahun, Nurul Huda sudah terbang ke Italia. Tergabung untuk berlatih dalam skuad PSSI Primavera 1994–1995. Sepulang dari Negeri Pizza, seabrek ilmu dibawa.
–Bagus Putra Pamungkas, Sidoarjo–
Kaget betul Nurul Huda saat Filanesia diperkenalkan pada 2017 lalu. Itu lho, filosofi sepak bola Indonesia. Begitu tahu isi kurikulumnya, dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia langsung teringat saat menimba ilmu di Italia pada 1994 silam.
’’Di Italia, program semacam Filanesia itu sudah saya dapat saat bersama PSSI Primavera,’’ kata pelatih 44 tahun itu kepada Jawa Pos.
Padahal, PSSI Primavera berangkat ke Italia pada 1994. ’’Saat itu, metode pelatihan seperti itu (Filanesia) sudah ada. Jadi, kalau boleh bilang, program seperti Filanesia itu terlambat 20 tahun diterapkan di Indonesia,’’ jelas mantan pemain Persebaya Surabaya tersebut.
Dia memberi contoh kecil: penyebutan nomor. Dalam latihan di PSSI Primavera 1994, pelatih asal Italia hanya menyebut angka. Nomor 1 untuk kiper, 2 sampai 5 untuk bek, 6 sampai 9 bagi gelandang, sementara striker dari 9 sampai 11.
Metode itu disebut penomoran pemain.
’’Tujuannya apa? Untuk memudahkan pelatih dalam memberi penjelasan kepada anak asuhnya. Ini lho, nomor 6 (gelandang) harus seperti ini, nomor 10 (striker) harus begitu,’’ jelas Huda.
Hal itu sudah jadi santapannya sehari-hari saat di Italia. ’’Tapi, di Indonesia baru diterapkan saat Filanesia diluncurkan. Bagi saya, itu sudah metode lama,’’ katanya.
Bagi Huda, metode itu memang sangat efektif dalam dunia kepelatihan. Pelatih bisa menjabarkan soal taktiknya secara umum, tanpa menyebut spesifik nama pemain. Sehingga pemain juga lebih mudah menerima masukan.
’’Misal pemain dimasukkan, dia harus berperan seperti nomor 6, pemain itu sudah tahu apa yang harus dilakukan,’’ beber Huda.
Metode itu selalu dia lakukan saat menangani tim. Termasuk kala menjabat pelatih Bhayangkara FC U-18. ’’Saya praktikkan ilmu yang saya dapat di Italia itu dalam melatih tim. Termasuk metode penomoran. Hasilnya terbukti kan,’’ jelas pelatih kelahiran 31 Januari 1977 itu. Bhayangkara FC U-18 mampu menjadi juara Elite Pro Academy (EPA) U-18 pada musim 2019 lalu.
Pelatih asal Klagen, Sidoarjo, itu mengaku beruntung sudah mendapat banyak ilmu sejak muda. Apalagi, saat itu, dia berstatus pemain pertama Sidoarjo yang menimba ilmu di Italia. Ilmu itu pula yang kemudian dia terapkan di klub kampung halamannya: Deltras Sidoarjo. Sebagai asisten pelatih, dia punya banyak peran.
’’Saya sering memberi masukan dalam bertahan. Termasuk melihat performa per individu pemain,’’ ungkapnya.
Huda sangat sering sharing dengan Mohammad Zein ’’Mamak’’ Alhaddad sebagai pelatih kepala. Tapi, dalam beberapa momen, dia sering berteriak dengan lantang kepada pemainnya.
Terutama jika si pemain melakukan kesalahan. Dia tidak sungkan untuk marah.
’’Deltras ini kan dihuni banyak pemain muda. Anak muda itu harus sering diteriaki kalau salah. Kemudian diberi contoh. Itu (teriakan) untuk merangsang agar pemain lebih baik lagi,’’ tambahnya.
Secara individu, Huda melihat masih banyak kekurangan pemainnya. Termasuk sisi fundamental seperti passing dan pemahaman taktik. Tapi, bersama pelatih kepala, pelan-pelan Huda membenahi hal itu.
’’Deltras ini memang main di Liga 3, tapi saya harap gaya mainnya jangan seperti klub Liga 3. Harus lebih baik,’’ tegasnya.
Ilmu-ilmu dari Italia itu akan diterapkan guna menghadapi babak Liga 3 Nasional. Huda tidak ingin The Lobster –julukan Deltras– terpeleset. ’’Sebagai warga Sidoarjo, targetnya tentu Deltras harus promosi ke Liga 2. Kalau nggak promosi, malu saya, Mas,’’ kata Huda.
Dia pun meminta pemainnya agar selalu maksimal. Sebab, persaingan akan sangat ketat. ’’Semua tim mau naik ke Liga 2. Tinggal siapa yang lebih siap, itu yang akan menang,’’ pungkas pria yang semasa jadi pemain berposisi sebagai bek sayap itu.