Marco Bezzecchi akhirnya mewujudkan impiannya melangkah ke MotoGP. Pembalap muda itu menegaskan tak terobsesi dengan kemenangan.
Pemuda asal Rimini tersebut mencintai motor sejak dapat hadiah ulang tahun berupa motor mini pada usia enam tahun. Kala itu, ia hanya bisa memutari area parkir di belakang rumahnya.
“Ayah memberikan Polini G dan bagi saya, itu adalah motor terindah di dunia. Saya mengendarainya di belakang rumah. Saking antusiasnya, saya tidak melepas helm bahkan membawa ke ranjang,” ia mengenang, dilansir ilrestodelcarlino.
Suatu hari, sang ayah, Vito, membawa Bezzecchi kecil ke sebuah trek dekat rumah. Ternyata, ia menikmati mengelilingi lintasan dengan motor kecilnya.
Setelah melewati proses latihan yang panjang, Bezzecchi pun didaftarkan ke kompetisi sebenarnya ketika usianya sembilan tahun. Di sela-sela kompetisi dan sekolah, ia juga membantu ayahnya di bengkel truk. Pengetahuan tentang mesin jadi nilai plus baginya dibanding mayoritas lawannya.
Berkat kepiawaiannya, pemuda kelahiran 12 November 1998 tersebut bisa membuka pintu-pintu di tingkat lebih tinggi.
Pada 2014, ia berdebut di CIV Moto3 dan menggondol gelar runner-up. Keputusan Bezzecchi bertahan setahun lagi sangat tepat karena mampu berdiri di puncak klasemen sekaligus dapat kesempatan tampil di Moto3 dua kali bersama San Carlo Team Italia.
Rider itu pindah ke FIM CEV Repsol pada 2016, yang sayangnya, hanya finis P7. Mahindra juga menurunkannya dalam dua kesempatan di Moto3.
Ia dinyatakan lolos tes sehingga tim tersebut menawarkan kontrak permanen untuk musim 2017. Misi merebut titel Rookie of the Year gagal karena Bezzecchi berakhir di peringkat ke-23.
Kendati demikian, murid Akademi Pembalap VR46 itu dapat hadiah hiburan berupa podium ketiga di Moto3 Jepang.
Kepindahan ke Redox Prustel GP sebuah batu loncatan yang bagus. Sebab, ia mampu menginjak podium sembilan kali dan tiga di antaranya kemenangan, serta menutup musim pada posisi ketiga klasemen.
Ia pun dapat tiket ke Moto2. Kualitas Bezzecchi rupanya menarik Red Bull KTM Tech3. Sayangnya, motor KTM di level lebih tinggi sulit ditaklukkan sehingga sama sekali tidak pernah podium.
Membaca masalah didikannya, Rossi pun menariknya pulang dan mendaftarkan sebagai pembalap SKY Racing Team VR46. Ternyata, motor produksi Kalex lebih mudah dikontrol.
Ia membukukan tujuh podium, termasuk dua kemenangan pada 2020. Bezzecchi menghuni posisi keempat klasemen dan naik satu tingkat tahun lalu.
Pemuda 23 tahun itu memilih untuk bertahan di Moto2 walaupun dapat tawaran naik kelas dari Aprilia. Alasannya agar dapat melihat peluang lain yang lebih berharga.
Benar saja, rider yang memakai nomor 72 itu menjadi satu-satunya yang mampu mengganggu duel duo Red Bull KTM Ajo, Remy Gardner dan Raul Fernandez. Musim depan, momen yang ditungguh telah tiba yakni tampil di MotoGP bersama Mooney VR46 Racing Team, dipasangkan dengan Luca Marini.
Beban berat dipikulnya karena itu adalah proyek rintisan skuad Rossi di level premier. Atensi publik tentu akan terarah kepada tim yang berafiliasi dengan Ducati.
Bezzecchi merasa antusias, gugup dan berusaha menenangkan diri sebelum terjun ke dunia yang baru baginya.
“Lintasan tidak berbeda, sama seperti Moto2. Hanya saja, MotoGP punya sesuatu yang membuat saya terkesan. Itu dunia baru. Anda tidak mengerti jika Anda tidak mencobanya. Bisa dilihat bahwa motor itu menakutkan, tapi dari atas, itu sesuatu yang lain,” tuturnya, dikutip dari Corsedimoto.
“Saya tidak mau terburu-buru, kalau tidak Anda akan berisiko mengalami sebuah masalah dan kehilangan kepercayaan diri. Tak masuk akal mengambil risiko sekarang.”
Marco Bezzecchi adalah tipe rider yang penuh perhitungan. Ia mengaku tidak mau dibutakan oleh obsesi untuk menang. Kendati demikian, pembalap muda itu terus berusaha meraih poin penuh ketika situasi mendukung.