Sistem Bubble MotoGP: Mudah Diucapkan, Rumit Diterapkan

Pelaksanaan Grand Prix of Indonesia terancam dibatalkan menyusul sikap Dorna Sports yang menentang karantina selama 14 hari seperti yang diterapkan Indonesia.

Dalam beberapa hari terakhir, isu pembatalan gelaran MotoGP Indonesia di Pertamina Mandalika International Street Circuit, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengemuka.

Semua diawali pernyataan tegas CEO Dorna Sports Carmelo Ezpeleta, selaku promotor MotoGP. Ezpeleta menyebut takkan ragu mencoret negara tuan rumah Grand Prix yang mengharuskan karantina panjang untuk tim-tim balap.

“Jika kami harus melakukan karantina selama 14 hari, jawabannya jelas: tidak! Kami tidak akan ke sana (negara yang menerapkan aturan tersebut)!” ucap Ezpeleta seperti dikutip GPOne.com.

Sampai kini, pandemi Covid-19 masih menjadi perhatian utama di seluruh penyelenggaraan olahraga dunia, termasuk MotoGP. Indonesia yang akan menjadi tuan rumah pun masih dibayangi pandemi ini, utamanya dengan meluasnya varian Omicron.

Jika Indonesia tetap menerapkan karantina panjang untuk mereka yang datang dari luar negeri, tidak terkecuali tim-tim balap dunia yang akan turun di Mandalika, dan Ezpeleta tetap dengan pendiriannya, sudah pasti GP of Indonesia tidak bisa digelar.

Pemerintah Indonesia lewat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pun langsung angkat bicara. Sandiaga menyebut pemerintah tidak bisa diancam oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan ajang MotoGP di Mandalika dengan alasan karena aturan karantina panjang untuk pendatang asing.

“Saya tegaskan, kami tetap akan berpegang pada hukum di negara ini. Indonesia negara hukum yang sudah mengimplementasikan kontrol terhadap pandemi Covid-19 dengan cara terbaik,” kata Sandiaga Uno seperti dikutip Antara.

Dalam kalender Kejuaraan Dunia Balap Motor 2022, GP of Indonesia akan menjadi putaran kedua pada 18-20 Maret atau sekira dua pekan setelah balapan pertama di Qatar. Alasan Dorna memang masuk akal karena karantina panjang bisa mengganggu jadwal logistik dan perjalanan tim.

Tetapi di sisi lain, Indonesia sebagai negara berdaulat tentu tidak bisa begitu saja diatur oleh pihak-pihak lain untuk kepentingan apa pun. Apalagi ini terkait soal keselamatan warga negara menyusul kian meningkatnya lagi kasus positif Covid-19.

Senin (17/1/2022) lalu, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Suharyanto menyebutkan, gelaran MotoGP di Mandalika akan menerapkan sistem bubble (gelembung). Tujuannya jelas, agar penularan Covid-19 tidak terjadi.  

Dengan sistem bubble baik penonton maupun pihak-pihak yang terlibat dalam ajang MotoGP Indonesia itu tidak bisa pergi ke mana-mana selain rute yang sudah ditentukan.

Sandiaga Uno pun menambahkan, sistem travel bubble  akan coba diterapkan saat tes pramusim kedua MotoGP yang memang akan digelar di Mandalika pada 11-13 Februari mendatang.

Pertanyaannya, apakah semudah itu menerapkan sistem bubble untuk ajang sekelas dan sebesar MotoGP, utamanya saat penyelenggaraan akhir pekan balapan?

Tahun lalu, sistem bubble diterapkan pada dua balapan awal MotoGP di Qatar, yakni GP Qatar pada 26-28 Maret dan GP Doha pada 2-4 April. GP Doha sendiri digelar “mendadak” seusai banyak Grand Prix menarik diri karena pandemi.

Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan jika Indonesia akan menerapkan sistem bubble di Mandalika nanti. Apa yang dilakukan Qatar tahun lalu mungkin bisa menjadi contoh.

Saat itu, Qatar diuntungkan karena hampir sepanjang Maret 2021, seluruh kegiatan MotoGP terpusat di Qatar. Tes pramusim kelas MotoGP digelar 5-12 Maret sedangkan Moto2 dan Moto3 pada 19-21 Maret.

Saat itu, Pemerintah Qatar mewajibkan pendatang dari luar negeri untuk karantina minimum enam hari. Mereka bisa keluar pada hari ketujuh jika dua tes PCR dinyatakan negatif.

Masalah bagi Indonesia, saat ini varian Covid-19 makin banyak dan butuh karantina cukup pajang. Selain itu, jeda antara lomba di Qatar dan Indonesia terbilang mepet, tidak sampai dua pekan jika dihitung sejak paddock di Mandalika dibuka.

Ketika itu, dengan protokol MotoGP, setiap anggota tim bisa melewatkan proses karantina jika menunjukkan hasil negatif Covid-19 dari negara asal keberangkatan.

Begitu tiba di Qatar, semua kru dan staf di paddock – tidak terkecuali pembalap – akan kembali dites sebelum dipindahkan ke hotel untuk menunggu hasil tes kedua PCR. Bila hasil tes kedua negatif, barulah kru dan staf tim bisa ke paddock.

Di paddock pun mereka tetap harus menerapkan protokol kesehatan, salah satunya menjaga jarak. Seluruh staf maupun pembalap pun tidak boleh mengemudikan sendiri mobil.

Bila pembalap meninggalkan Qatar setelah balapan pertama, mereka harus mengulangi protokol yang sama saat akan turun di GP Doha. Karenanya, saat itu banyak pembalap memilih bertahan di Qatar.

Bahkan, tidak sedikit kru maupun pembalap Moto2 dan Moto3 yang tidak kembali ke negaranya sejak tes pramusim hingga GP Doha selesai. Saat itu, seluruh staf, kru, dan pembalap baru bisa meninggalkan Qatar setelah tanggal 4 April usai menjalani tes PCR lagi.

GP Qatar dan GP Doha adalah contoh penyelenggaraan sistem gelembug di MotoGP pada tahun lalu. Seperti sudah diungkapkan di atas, makin beragamnya varian Covid-19 membuat cara penanganannya pun berbeda dan mungkin lebih pelik.

Melihat contoh sistem bubble tahun lalu di Qatar, tampaknya memang cukup rumit. Padahal, mereka saat itu sudah jauh-jauh hari mempersiapkan sarana maupun hal-hal teknis untuk mendukung sistem gelembung tersebut. Bagaimana di Indonesia?        

Related posts