Komedi dan Ketersinggungan

Jawapos TV

KOMEDI bisa menjadi salah satu solusi bagi kita saat mengalami rasa jenuh maupun lepas dari beban sejenak. Selain bertujuan untuk membuat orang terhibur, komedi juga menjadi sarana bagi pelaku seni untuk menertawakan tragedi dan terkadang erat kaitannya dengan kritik sosial. Di dunia komedi kita mengenal sosok komedian sebagai pelaku komedi yang bisa berdiri di garis bebas tekanan, menyampaikan kritik dan keresahan dengan tertawa. Penyampaian kritik dalam materi komedi memang menjadi hal yang wajar, tetapi tidak jarang hal ini dapat menimbulkan ketersinggungan.

Masalah ketersinggungan menjadi perhatian khusus bagi para komedian di Indonesia. Komeng, salah satu komedian yang terkenal dengan gaya komedi satirnya mengatakan, bahwa sebenarnya siapapun tidak boleh tersinggung dan ketersinggungan dalam berkomedi bisa diminimalisir jika kondisi kehidupan masyarakat lebih baik di Indonesia. Komeng juga bilang, bahwa tugas para pelawak sejak zaman kerajaan memang memberikan informasi dengan metode satir agar pesannya bisa tersampaikan dengan mudah.

Read More

Namun, belum lama ini, Komeng tersandung karena komedinya. Bahkan, sampai Trending Topics nomor satu di Twitter Indonesia pada Rabu (12/1). Banyak orang menuding Komeng telah merendahkan perempuan dalam ucapannya di sebuah acara TV The Sultan Entertainment. Saat itu, Komeng berperan menjadi seorang ayah dari anak perempuan, lalu ada momen anaknya izin ke toilet.

Komeng lantas mengikuti sang anak ke toilet dan ditanya oleh Marshel Widianto, “Bapak mau kemana?” Komeng berkata ia ingin menjaga anaknya. Marshel pun kembali bertanya, “Jagain anak Bapak?” Komeng menanggapi dengan menjawab, “Takut ada yang ngintip orang lain. Daripada orang lain yang ngintip, mending bapaknya yang ngintip.” Nah, jawaban Komeng itulah yang membuatnya menyita perhatian publik dan menuai kontroversi.

Akun twitter dengan username @AREAJULID yang kali pertama mengunggah kejadian ini dengan menyebarkan postingan TikTok di tweetnya. Tanggapan banyak orang tak berhenti, ribuan klik retweet terus bertambah. Banyak yang menyayangkan perkataan Komeng karena dianggap merendahkan martabat perempuan. Tetapi tidak sedikit juga yang menyanggah dan berpendapat bahwa Komeng tidak sepenuhnya bersalah.

Sebagai seorang perempuan dan juga penikmat komedi, saya menilai candaan yang dilontarkan oleh Komeng tidak bermasalah selama penonton bisa mengerti gaya komedi dan intensi dari sang komedian. Komeng dikenal sebagai komedian yang menggunakan gaya satir. Satir adalah bentuk lelucon untuk mengejek kejahatan serta kesalahan manusia maupun tragedi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya tidak lain untuk menginspirasi perubahan. Adapun intensi dari komedi satir yang digunakan oleh Komeng adalah untuk mencari tawa penonton sembari menyentil kasus yang sensitif.

Saya dapat mengerti ketika ada beberapa orang yang merasa tersinggung terhadap candaan Komeng. Hal itu dapat dipahami karena isu tentang pelecehan seksual terhadap perempuan sedang menjadi topik sensitif yang menyita perhatian publik. Bahkan, mungkin ada penyintas kasus ini yang masih belum bisa menjadikan ini sebagai sebuah candaan. Tetapi, jika mencoba menelisik apa intensi Komeng dalam mengeluarkan candaan, kita bisa melihat bahwa Komeng sebenarnya ingin masyarakat memberikan atensi lebih terhadap isu ini.

Ketersinggungan bisa terjadi jika ada kesalahpahaman antara pelaku komedi dan masyarakat. Biasanya, kesalahpahaman terjadi ketika komedi diterima oleh lapisan masyarakat yang tidak memiliki referensi yang sama. Dalam kasus ini, besar kemungkinan masyarakat yang merasa tersinggung tidak mengetahui gaya komedi satir milik Komeng. Menurut pandangan saya, ketersinggungan bukanlah hal yang sengaja diberikan kepada orang lain melainkan hal yang diterima secara spontan. Sebagai contoh, ketika seseorang mengeluarkan pendapat yang memiliki potensi menyinggung, belum tentu semua orang yang mendengarnya akan merasa tersinggung.

Keterkaitan antara komedi dan ketersinggungan semakin terasa nyata di masa sekarang karena dipengaruhi oleh setidaknya beberapa faktor krusial. Era globalisasi merupakan salah satu faktor terbesar yang mendorong maraknya ketersinggungan dalam komedi. Dengan cepatnya dunia sosial media menyebarkan informasi, memudahkan sebuah karya komedi untuk sampai ke semua orang sehingga dapat meningkatkan potensi kesalahpahaman bahkan ketersinggungan.

Perkembangan kesadaran terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia juga menjadi salah satu faktor yang berefek pada meningkatnya keberanian masyarakat dalam memberikan opini. Hal ini berujung pada lebih vokalnya masyarakat saat menghadapi ketidakcocokan pendapat.

Masuknya Stand Up Comedy sebagai salah satu cabang kesenian komedi di Indonesia juga memiliki peran besar dalam mendekatkan hubungan antara komedi dengan ketersinggungan. Mayoritas penikmat karya komedi melabeli Stand Up Comedy sebagai genre komedi cerdas, dimana para komedian menuangkan segala keresahan di dalam sebuah karya Stand Up Comedy yang berformat verbal. Komedi yang disampaikan secara verbal dan tidak melalui sketsa memiliki potensi ketersinggungan yang lebih besar karena diterima secara subjektif.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan oleh kita sebagai masyarakat dan penikmat komedi agar tidak terjadi ketersinggungan adalah sebagai berikut.

Pertama, kita perlu mencoba memahami bahwa tujuan utama dari komedi adalah menghasilkan tawa, membahas permasalahan yang ada, dan bukan untuk menyinggung suatu pihak.

Kedua, dalam menerima sebuah candaan, penikmat komedi perlu lebih memahami konteks dari bahan komedi tersebut, seperti latar belakang topik yang sedang dibahas, latar tempat terjadinya komedi, dan latar suasana saat candaan dikeluarkan.

Ketiga, masyarakat juga sebaiknya menghindari perasaan tersinggung untuk mewakili orang lain yang mungkin sama sekali tidak merasa tersinggung.

Sebagai generasi muda, saya berharap masyarakat bisa  lebih kritis dalam menerima sebuah komedi. Dengan tidak menarik kesimpulan di awal, kita bisa meminimalisir potensi terjadinya kesalahpahaman dan mewujudkan hiburan komedi yang bebas dari ketersinggungan.


*) Fransisca Saraswati, Mahasiswi Universitas Kristen Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi 

Related posts