Sebagaimana yang kini sedang dihadapi oleh Indonesia di tengah konflik China dengan AUKUS, atau kerja sama trilateral (tiga negara) antara Australia, United Kingdom (UK/Inggris), dan United States of America (USA/Amerika Serikat).
Konflik antara China dengan AUKUS telah memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-9 Antonio Guterres. Ia berpandangan bahwa konflik yang berawal dari ketegangan antara China dengan Amerika Serikat ini memiliki akhir yang lebih sulit ditebak apabila dibandingkan dengan konflik yang pernah terjadi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet.
Lahirnya aliansi AUKUS menandakan bahwa Amerika Serikat telah mengalihkan fokusnya dari konflik di kawasan Timur Tengah menuju kawasan Indo-Pasifik, khususnya pada Laut China Selatan.
Pengamat intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro mengatakan bahwa konflik antara China dengan AUKUS menjadikan Indonesia sebagai negara proksi, atau negara tempat perang pengaruh antara negara-negara yang terlibat konflik.
Dugaan tersebut tergambar dengan jelas melalui letak geografis Indonesia yang berada di antara China dan AUKUS. Situasi tersebut, menurut Simon, sapaan akrab dari Ngasiman Djoyonegoro, akan merugikan Indonesia.
Selain itu, sebagai salah satu negara inisiator Gerakan Non-Blok, Indonesia menjalin kerja sama erat dengan kedua pihak yang berkonflik. Terlebih, pada 2022, Indonesia mengemban tanggung jawab Presidensi atau Keketuaan G20 dan menjadi harapan pemulihan ekonomi global.
Kedudukan tersebut mengakibatkan Indonesia memiliki posisi yang strategis, namun penuh akan tantangan secara bersamaan.
Saat ini, kemampuan diplomasi Indonesia akan sangat memengaruhi dan menjadi kunci dalam catur perpolitikan internasional di kawasan Indo-Pasifik.
Dampak konflik AUKUS-China
Simon berpandangan bahwa konflik AUKUS-China akan sangat memengaruhi Presidensi Indonesia di G20. Pengaruh tersebut diakibatkan oleh Australia, Inggris, Amerika Serikat, dan China yang juga merupakan negara anggota dari G20.
Keempat negara tersebut, menurut Simon, pasti akan menggunakan power mereka di dalam G20 untuk memengaruhi negara anggota lainnya agar mendukung sikap dan keputusan negaranya. Apalagi, Amerika Serikat dan China memiliki pengaruh ekonomi yang sangat kuat di tatanan perekonomian global.
Oleh karena itu, sangat mungkin bagi keempat negara tersebut untuk menggunakan kekuatan ekonomi mereka sebagai daya tawar kepada negara-negara lain dalam memengaruhi tahapan-tahapan pembuatan kesepakatan. Tidak menutup kemungkinan juga bagi negara-negara tersebut untuk mengarahkan agenda G20 sesuai dengan kepentingan dari masing-masing pihak.
Pengaruh tersebut dapat menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mewujudkan tiga fokus utama pada Presidensi Indonesia di G20, yakni isu penanganan kesehatan yang inklusif, isu transformasi berbasis digital, serta isu transisi menuju energi berkelanjutan.
Tidak terbatas pada dampak konflik AUKUS-China terhadap Presidensi Indonesia di G20, konflik ini juga dapat mengancam stabilitas nasional. Apalagi, Amerika Serikat dengan China tidak ada henti-hentinya menunjukkan kecanggihan persenjataan mereka untuk menggertak dan mengintimidasi satu sama lain.
Besar kemungkinan bagi Indonesia, yang secara geografis berada di antara Laut China Selatan dan Australia, menjadi negara proksi dari operasi intelijen terkait ketegangan AUKUS-China di kawasan tersebut. Disrupsi terhadap situasi nasional yang dapat terjadi akibat ketegangan antara AUKUS-China akan sangat merugikan Indonesia.
Lebih lanjut, memasuki 2022, Simon mengatakan bahwa terdapat kemungkinan akan terjadi peningkatan ketegangan di dalam konflik AUKUS-China.
Peningkatan tersebut diakibatkan oleh berbagai isu kompleks dan multidimensi yang melatarbelakangi konflik antara AUKUS dengan China, seperti perpanjangan konflik antara Blok Barat dengan Blok Timur sejak Perang Dingin, perebutan sumber daya alam yang berlokasi di Laut China Selatan, dan perang ekonomi antara Amerika Serikat dengan China.
Oleh karena itu, Indonesia harus mengarahkan atensi penuh guna menghadapi konflik AUKUS-China dengan tegas dan bijak.
Diplomasi Indonesia
Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis untuk mengarahkan agenda apa saja yang akan menjadi sorotan G20. Komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi negara berkembang, inklusivitas, hingga memperjuangkan kepentingan negara kepulauan melalui transisi menuju energi yang terbarukan tidak boleh goyah akibat konflik AUKUS-China.
Indonesia harus dapat secara tegas membedakan antara kesepakatan G20 yang berbasis ekonomi dengan kesepakatan masing-masing negara anggota G20 yang terlahir akibat konflik dan ketegangan di kawasan Laut China Selatan.
Mengemban kepercayaan Presidensi G20 pada 2022 merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk memaksimalkan pengaruhnya guna mewujudkan komitmen kepresidenan, yakni menghasilkan aksi nyata untuk pemulihan dunia akibat serangan pandemi COVID-19.
Selain itu, melalui diplomasi, Indonesia harus piawai dalam menggunakan pengaruhnya untuk merangkul berbagai negara anggota G20, khususnya yang berada di kawasan Indo-Pasifik, dalam memperjuangkan keinginan mempertahankan perdamaian dan meminimalisasi konflik di kawasan tersebut.
Keberhasilan Indonesia merangkul negara anggota G20 dapat meredam kemungkinan AUKUS-China menggunakan pengaruh mereka untuk mengarahkan agenda G20 sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Tidak hanya itu, guna mengantisipasi Indonesia menjadi negara proksi dari konflik AUKUS-China, Pemerintah harus bergegas melakukan modernisasi persenjataan Indonesia sebagai bentuk diplomasi sekaligus menjaga stabilitas nasional.
Konflik AUKUS-China tentunya mendatangkan tantangan tersendiri bagi Presidensi Indonesia di G20.
Akan tetapi, dengan menegaskan pentingnya negara-negara di dunia, khususnya negara anggota G20, untuk saling bergandengan tangan dalam memperjuangkan kepentingan global, Indonesia dapat mengatasi konflik kepentingan antara AUKUS-China sembari mengaktualisasikan tema Presidensi Indonesia di G20, yakni “Recover Together, Recover Stronger”.