Hal tersebut dilakukan untuk menyikapi kecemasan masyarakat dan pengecer atas tingginya harga minyak goreng di pasaran.
“Berdasarkan hasil pengecekan lapangan, kami mendapati minyak goreng tidak langka, namun harganya mahal karena proses produksinya menggunakan CPO (Crude Palm Oil) yang harganya di dunia juga sedang tinggi,” kata Panutan dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan KSP dalam menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan masalah program-program prioritas nasional secara komprehensif, terus melakukan pemantauan harga komoditas pangan secara reguler di pasar-pasar tradisional dan ritel modern.
Menurut pemantauan KSP, harga minyak goreng kemasan di beberapa pasar, baik di Jakarta Pusat maupun Jakarta Timur, terpantau sekitar Rp20.000-Rp21.000 per liter.
Sementara untuk minyak goreng curah terpantau di sekitar Rp19.000-Rp20.000 per kg.
Dia menyampaikan, saat ini pemerintah sedang mematangkan rencana untuk menyediakan minyak goreng dengan kemasan sederhana sebanyak 1,2 miliar liter dalam jangka waktu enam bulan dengan harga Rp14.000 per liter.
Kebutuhan biaya untuk menutup selisih harga, sebesar Rp3,6 triliun akan bersumber dari anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS).
Presiden telah menugaskan Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, dan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mempercepat implementasi dari kebijakan ini.
Panutan berpendapat bahwa agar kebijakan operasi pasar berjalan efektif, pemerintah harus melibatkan semua jaringan pasar. Dia juga berpendapat bahwa pasokan CPO kepada produsen minyak goreng perlu diamankan agar kenaikan harga bisa dimitigasi.
“Program subsidi juga harus dikelola. Pemerintah akan mengidentifikasi pengecer hingga konsumen, atau mungkin membuat sistem seperti kartu konsumen. Jangan sampai dana Rp3,6 triliun yang digelontorkan mengalir ke produsen lagi. Karena ini bukan subsidi untuk produsen, ini subsidi untuk konsumen,” ujar Panutan.