Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan Indonesia harus memastikan diri tidak hanya sebagai pasar tetapi pemain di ranah industri gim lokal.
“Maka perlu adanya peta jalan industri gim nasional melalui perpres atau setidaknya dalam bentuk inpres,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat menghadiri Rapat Terbatas Industri Gim Nasional, di Jakarta, Selasa.
Moeldoko menambahkan pemerintah memiliki peran penting untuk mendorong agar konten-konten gim yang beredar di masyarakat benar-benar berkualitas dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai bangsa. Selama ini belum ada lembaga sensor khusus untuk gim sehingga permainan yang beredar di masyarakat tidak terseleksi dengan baik.
“Untuk itu perlu penguatan berupa payung hukum serta kelembagaan terkait ‘Indonesia Game Rating System’ (IGRS),” jelas Moeldoko.
Tidak hanya itu, dalam kunjungannya ke salah satu pengembang gim dalam negeri di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, Moeldoko menyaksikan bahwa industri gim nasional merupakan industri yang padat karya dan padat modal. Sektor ini membuka peluang lapangan kerja bagi programer, desainer grafis, desainer permainan, ahli suara, efek khusus, dan lainnya.
Oleh karena itu, Moeldoko menekankan pentingnya pengembangan talenta industri gim. Menurut dia, Kemdikbudristek perlu menyusun kurikulum sesuai kebutuhan industri untuk SMK, politeknik, dan vokasi terkait, hingga program magang siswa dan program guru tamu dari industri.
“Pengembangan SDM dapat diintegrasikan dengan grand design Manajemen Talenta Nasional yang sedang dikembangkan pemerintah untuk dapat menciptakan talenta gim sesuai dengan target yang diharapkan serta menarik talenta diaspora kita kembali ke Tanah Air,” kata Moeldoko.
Selain itu, masih sedikit kampus/universitas yang memiliki kepakaran di dalam pengembangan gim, di antaranya ITB, Universitas Multimedia Nusantara, dan lainnya. Untuk itu, kata Moeldoko, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan start-up di bidang industri gim dari universitas melalui program mentoring dan inkubasi, kemudahan akses permodalan awal, dan yang paling penting riset terapan di perguruan tinggi melalui skema matching-fund dengan industri.
Adapun dari sisi pendanaan, Moeldoko mendapat kabar bahwa dalam membuat sebuah gim “casual” biayanya dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara untuk gim bertaraf internasional atau biasanya disebut “game triple A” membutuhkan biaya puluhan miliar rupiah dalam pengembangannya.
Dalam konteks permodalan, jelas Moeldoko, industri ini mengalami kesulitan karena sifatnya intangible atau sulit dievaluasi sehingga sukar untuk mendapatkan investor dan permodalan perbankan.
“Pemerintah perlu melakukan dukungan dan afirmasi dari segi pendanaan,” kata Moeldoko.
Industri gim, katanya, dapat memiliki peran strategis untuk menjadi sarana edukasi nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Oleh karena itu, Moeldoko berpandangan perlunya intervensi pemerintah untuk menyediakan “initial market” industri gim nasional untuk memudahkan pintu masuk gim yang bersifat edukasi dan bertema nilai-nilai kebangsaan.
“Distribusi dapat dimulai dari ‘initial market’ yang berada di bawah kendali pemerintah, terutama untuk ‘market’ pelajar dan pengajar dari Kemendikbudristek serta ‘market’ ASN dari KemenpanRB,” ungkap Moeldoko.