Tujuh poin krusial revisi kedua Otsus Papua

Jayapura (BabatPost.com) – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui sidang paripurna pada 17 Juli 2021 telah mengesahkan revisi kedua Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dengan memperbaiki tujuh poin krusial pada 20 pasal.
Read More

Keputusan pengesahan perubahan UU No. 21 tahun 2001 tersebut diambil dalam rapat paripurna DPR RI ke-23 di masa persidangan V tahun sidang 2020-2021.

Ada tujuh poin krusial yang telah menjadi prioritas perubahan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua di antaranya dalam bidang politik dengan diberikannya perluasan peran politik bagi Orang Asli Papua dalam keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK).

Kelembagaan di DPRK merupakan sebuah nomenklatur baru sebagai pengganti DPRD yang diinisiasi dalam RUU Nomor 21 tahun 2001.

Tentang kursi keanggotaan DPRK/DPRP dari unsur pengangkatan anggota DPRK/DPRP ini tidak boleh diisi dari partai politik, dan memberikan afirmasi 30 persen dari unsur perempuan.

Sementara itu, dalam bidang pendidikan dan kesehatan, perubahan UU Otsus ini telah mengatur mengenai kewajiban pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk Orang Asli Papua.

Adanya aturan ini sehingga setiap Orang Asli Papua diklaim dapat menikmati pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi dan tingkat kesehatan Orang Asli Papua juga akan semakin meningkat.

Sedangkan di bidang ketenagakerjaan dan perekonomian di pasal 38 RUU Otsus Papua telah menegaskan, dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Papua wajib mengutamakan Orang Asli Papua.

Dalam bidang pemberdayaan yang termuat di Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan bahwa sebesar 10 persen dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.

Ketua Pansus perubahan RUU Otsus Papua Komarudin Watubun mengatakan, semakin berdaya masyarakat adat diharapkan juga akan menyentuh pemberdayaan bagi Orang Asli Papua.

“Terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan dalam RUU ini. Sebanyak 20 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal usulan Pemerintah yang memuat materi mengenai dana Otsus Papua, sebanyak 15 pasal di luar substansi yang diajukan, ditambah 2 pasal substansi materi di luar undang-undang,” ungkap Ketua Pansus RUU Otsus Papua Komarudin Watubun.

Poin kedua yang disampaikan dalam RUU Otsus Papua adalah terkait keberadaan lembaga kultural masyarakat asli Papua yakni Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP.

Dalam RUU ini, diklaim bakal memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi dan dengan memberikan penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga.

Adanya kesamaan nama sebutan untuk kegunaan administrasi pemerintahan serta keanggotaan MRP dalam “RUU ini juga memberikan penegasan bahwa anggota MRP tidak boleh berasal dari partai politik”.

Poin ketiga yaitu terkait dengan keberadaan partai politik lokal dengan menghapus dua ayat dalam Pasal 28 UU Otsus Papua.

Pansus dan Pemerintah selama ini menilai Pasal 28 telah menimbulkan kesalahpahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait partai politik lokal.

Agar tidak lagi terjadi perbedaan pandangan maka RUU Otsus Papua ini mengadopsi Putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) Pasal 28.

“Sebagai wujud kekhususan di Papua, maka keanggotaan DPRP dan DPRK, selain dipilih juga dilakukan pengangkatan dari unsur Orang Asli Papua,” ucap Komarudin.

Dengan disediakannya ruang pengangkatan orang asli Papua diharapkan dapat memenuhi keinginan nyata Orang Papua.

Poin keempat perubahaan UU Otsus yakni terkait dengan dana otonomi khusus Papua (Otsus Papua) karena persoalan Otsus Papua bukan semata-mata mengenai besaran dana.

Pansus DPR dan Pemerintah bersepakat bahwa dana otsus mengalami peningkatan dari dua (2) persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional menjadi 2,25 persen

Poin kelima, perubahan UU Otsus Papua hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3) dan berkantor di ibu kota provinsi setempat.

Pansus dan Pemerintah menyadari bahwa selama 20 tahun berjalannya Otsus Papua, ada banyak program atau kegiatan yang dilakukan berbagai kementerian/lembaga di Papua yang tidak sinkron dan harmonisasi dengan lembaga terkait lainnya.

Kehadiran BK-P3 yang diketuai langsung Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua.

Bahkan secara khusus, Pansus memberikan penekanan agar lembaga kesekretariatan badan khusus itu ada di Papua

Poin keenam yaitu terkait pemekaran provinsi di Papua, Pansus dan Pemerintah menyepakati bahwa pemekaran provinsi di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR.

Pemerintah dan DPR juga dapat melakukan pemekaran provinsi tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat Papua dan memberikan jaminan dan ruang kepada Orang Asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian dan sosial budaya,

Poin ketujuh perubahan mendasar UU Otsus Papua yaitu terkait peraturan pelaksanaan dari UU Otsus Papua yang terbaru dengan menekankan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan implementasi UU Otsus Papua.

DPR RI bersama dengan pemerintah berkomitmen untuk senantiasa menghadirkan peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) paling lambat 90 hari kerja dan bagi Perdasi diberi waktu satu tahun,

Sebagai bentuk komitmen DPR atas pelaksanaan UU Otsus Papua, maka DPR dan pemerintah melakukan sebuah terobosan hukum dengan mengatur bahwa penyusunan PP dikonsultasikan dengan DPR, DPD, dan Pemerintah Daerah tiap provinsi di Papua.

Penguatan diri OAP

Tokoh adat Port Numbay Papua George Awi menilai, adanya revisi UU Otonomi Khusus Papua tahun 2021 akan memperkuat eksistensi keberadaan jati diri orang asli Papua (OAP).

“Perubahan UU Otsus Papua mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan nyata bagi pembinaan masyarakat adat,” tutur Allo Rafra.

Ia menilai, revisi UU Otsus Papua juga perlu juga diperketat dengan pengawasan penggunaan dana otonomi khusus di setiap kabupaten/kota sehingga alokasi anggarannya tepat sasaran dan menyentuh kebutuhan OAP.

“Pengawasan dana Otsus harus lebih ekstra di masa perubahan UU Otonomi Khusus Papua sehingga meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua di setiap kampung,” ujar Geroge Awi.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua Yohanis Walilo mengungkapkan, pemerintah pusat akan memberikan kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan dana otonomi khusus (otsus) langsung ke pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) di Papua.

“Jika sebelumnya kewenangan pengelolaan dana otsus 80 persen ada di tingkat pemerintah provinsi, kini akan dikembalikan lebih banyak ke kabupaten dan kota,” ujarnya.

Kepala Bappeda Yohanis mengakui, dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 serta PP 106 dan 107 Tahun 2021 tentu akan ada pembenahan yang dilakukan pemerintah Provinsi Papua.

“Salah satunya pembenahan mengenai pengelolaan keuangan dana otonomi khusus yang kini langsung ditransfer dari pusat ke provinsi dan kabupaten/kota,” katanya.

Terkait dengan implementasi kebijakan baru tersebut dipastikan akan sudah mulai efektif berlaku pada tahun anggaran 2023.

“Tahun 2022 masih fokus pada tahap transisi, namun secara pasti kewenangan itu sudah diatur sehingga bisa dilakukan penuh pada tahun 2023,” jelas mantan Sekda Kabupaten Jayawijaya itu.

Itikad baik dan perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin untuk membangun Provinsi Papua yang maju, mandiri dan sejahtera sudah dilakukan sejak awal menjadi Presiden pada 2014 hingga saat ini.

Beberapa bukti nyata kebijakan Otsus Papua yang telah dirasakan masyarakat di antaranya pembangunan insfrastruktur bandara Sentani, Moses Kilanggin Timika, bandara Nabire, Dekai/Yahukimo, bandara Ewer Asmat, pelabuhan laut Poumako, pelabuhan Jayapura, pasar mama Papua Kota Jayapura, pasar ikan modern Biak, jalan trans Papua di Jayapura-Wamena.

Serta jembatan Youtefa Kota Jayapura, rumah sakit COVID-19 di Kabupaten Biak Numfor, pendidikan beasiswa afirmasi perguruan tinggi dan Afirmasi pendidikan (Adik), BBM satu harga Papua, pariwisata, sentra perikanan terpadu di Merauke, Biak dan Mimika, pengakuan beragam budaya orang asli Papua.

Dan beragam venue Pekan Olahraga Nasional stadion utama Lukas Enembe di Kampung Harapan Sentani Kabupaten Jayapura, venue indoor dan outdoor hoki, criket, venue aquatik, venue dayung serta sejumlah fasilitas peralatan olahraga untuk mendukung penyelenggaraan PON XX Papua dan Pekan Paralimpik Nasional XVI Papua 2021 yang telah sukses berlangsung.

Semua program yang dikerjakan nyata pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin untuk tanah Papua hingga saat ini masih berlangsung sebagai implementasi melaksanakan visi misinya membangun dari pinggiran kampung untuk mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat sejahtera dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Related posts

Exit mobile version