Berdasar Kasus dr. Richard Lee, Muncul Pembahasan Barang Bukti Digital

Berdasar Kasus dr. Richard Lee, Muncul Pembahasan Barang Bukti Digital

BabatPost.com – Kasus illegal access yang menjerat dr. Richard Lee menarik perhatian sejumlah pihak. Selain kasus ini disebut-sebut sebagai peristiwa hukum baru di Indonesia, barang bukti digital juga menjadi pembahasan di kalangan peneliti dan pegiat hukum.

Angga selaku peneliti senior ICJR meminta aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam melakukan penyitaan terhadap barang bukti digital. Karena sejatinya barang bukti digital secara hukum perundang-undangan sama dengan barang bukti yang diamankan di dunia nyata. Bahwa barang bukti yang boleh diamankan atau disita adalah yang digunakan untuk kejahatan.

Read More
Berita Terkait :  Hadapi Ayu Aulia, Ade Ratna Sari Di-Backup 12 Pengacara

Guna memudahkan publik memahaminya, Angga pun mencontohkannya dengan sebuah peristiwa pembunuhan di sebuah rumah. Yang digunakan untuk membunuh berupa pisau. Maka yang diamankan pihak berwajib adalah pisau dan mungkin sprei berisi ceceran darah.

“Yang dilakukan penyitaan itu rumahnya atau pisaunya ? Pisaunya donk, bukan rumahnya. Dalam barang bukti digital juga berlaku sama,” kata Angga kepada BabatPost.com, Rabu (29/12).

Dia kemudian mencontohkan sebuah tindak kejahatan yang terjadi di dunia digital. Misalnya ada ancaman sebuah pembunuhan dilakukan lewat email. Menurutnya, yang seharusnya disita adalah isi dari email yang berisi tentang ancaman pembunuhan, bukan emailnya secara umum.

Berita Terkait :  Vicky Prasetyo dituntut 8 bulan penjara, Kalina: Suami saya nggak salah!

Bisa saja pihak berwajib mengamankan akun email secara keseluruhan terlebih dahulu. Namun setelah isi email yang berisi tentang ancaman pembunuhan di-capture, disalin, dikloning, atau sejenisnya, seharusnya akun emailnya dikembalikan kepada yang bersangkutan karena tidak semua isi dari email tersebut berisi tindak pidana kejahatan.

Angga meminta aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam menyita barang bukti digital. Karena sebuah akun Facebook, Instagram, dan yang lainnya, merupakan sebuah aset bagi si pemilik (yang sangat mungkin di era sekarang ini menjadi sumber penghasilan bagi si pemilik). Bahkan kendati sudah ada ketetapan dari pengadilan untuk melakukan penyitaan sekalipun.

“Itu kan aset pribadi. Harus dilihat penyitaannya terhadap akunnya kah atau terhadap postingan yang spesifik (jika ada putusan pengadilan)” paparnya.

Berita Terkait :  Alasan Razman Tidak Marah dr. Richard Lee Dijebloskan ke Dalam Tahanan

“Dalam pandangan profesional saya seharusnya (penyitaan terhadap sebuah akun) tidak perlu dilakukan. Seperlu apa sebuah akun disita? Kan belum tentu perlu. Analoginya kalau sebuah rumah, kan enggak mungkin rumahnya yang disita,” imbuhnya.

Dia juga mengungkapkan, andai saja sebuah akun harus disita untuk keperluan penyalinan isi dari sebuah tindak pidana kejahatan, seharusnya ada jangka waktunya. Sehingga setelah itu, akun tersebut harus dikembalikan kepada si pemilik.

“Perlu diatur secara lebih spesifik ketika akun disita sampai berapa lama dan itu bisa lewat ketetapan pengadilan,” tandasnya.

Related posts