Salah satu keistimewaan Casey Stoner adalah kemampuannya menyesuaikan diri. Ini dibuktikan dengan dua gelar MotoGP yang selalu diraih pada musim debutnya membela tim pabrikan Ducati dan Honda.
Meski kariernya terbilang singkat, Casey Stoner dianggap sebagai salah satu rider terbaik yang pernah muncul di MotoGP. Gaya balap spektakuler dan kecepatan fantastis dimilikinya.
Namun satu hal yang membedakannya dari kebanyakan pembalap, yakni kemampuannya beradaptasi dengan cepat. Itu terbukti dengan dua titel kelas premier yang diraihnya pada musim 2007 dan 2011.
Stoner pertama kali keluar sebagai juara dunia MotoGP pada musim debutnya membela Ducati, 14 tahun lalu. Sampai hari ini, ia satu-satunya rider yang mampu jadi kampiun bersama merek Italia itu.
Ducati mendatangkan Stoner menyusul debut solidnya dengan LCR Honda. Tak berlebihan mengatakan itu perekrutan terbaik yang pernah dilakukan pabrikan Borgo Panigale di MotoGP.
Pada musim pertamanya, Casey Stoner mendominasi kejuaraan dengan Desmosedici. Dari 18 balapan, ia memenangi 10 di antaranya. Padahal, MotoGP 2007 merupakan musim pertamanya membela Ducati.
Empat tahun berselang, Stoner kembali membuktikan menyesuaikan diri adalah salah satu kekuatannya. Bergabung dengan Tim Repsol Honda pada 2011, Kuri-kuri Boy langsung sukses menjadi juara dunia.
Beralih dari Desmosedici ke RC212V ternyata bukan masalah baginya. Stoner tampil superior, mencetak 10 kemenangan. Ia menutup musim dengan unggul 110 poin atas runner-up Jorge Lorenzo (Yamaha).
Adaptasi kerap menjadi problem bagi banyak pembalap. Namun mengapa Stoner mampu cepat nyaman dengan motornya setiap kali ganti pabrikan? Dan mengapa itu jadi hal sulit bagi pembalap lainnya?
“Saya tidak memiliki keharusan untuk mendikte apa yang harus dilakukan motor. Saya selalu bersedia bekerja menyesuaikan diri dengan motor dan mencari tahu apa yang diinginkan motor,” ujar Stoner.
“Crew chief saya selalu benar-benar bagus. Bekerja dengan Cristian (Gabbarini) sangat sukses,” kenang pria 36 tahun tersebut tentang kepala kru yang menemaninya pindah dari Ducati ke Honda saat itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, MotoGP telah menunjukkan berulang kali betapa kesulitannya seorang rider ketika pindah dari satu pabrikan ke pabrikan lainnya dan harus beradaptasi dengan motor baru.
Contoh paling menonjol dari kasus tersebut adalah Jorge Lorenzo, Cal Crutchlow, Johann Zarco, bahkan Valentino Rossi. Casey Stoner mencoba memberikan teori dan pandangannya mengenai hal tersebut.
“Banyak pembalap lebih suka melakukan banyak lap dan membangun feeling-nya. Mereka menunggu itu sampai meningkat. Sedangkan saya tidak pernah menginginkan hal tersebut,” Stoner menuturkan.
“Saya tahu bagaimana menjadi cepat dengan motor yang berbeda. Anda mencapai titik dengan cukup cepat, di mana Anda sekitar satu detik dari limit. Setelah itu, semua tentang penyetelan yang baik.
“Anda kemudian harus mencari tahu apa yang perlu Anda ubah. Itu adalah hal istimewa bagi saya. Tidak seperti pembalap lain, saya lebih suka beradaptasi ketimbang membuat motor sesuai karakter saya.
“Banyak rider mengklaim motor tertentu tidak selaras dengan gaya mereka dan tak sesuai keinginan. Entah Anda dapat motor sesuai kebutuhan atau Anda melakukan apa yang diinginkan oleh motor.”
Stoner selalu berpandangan bahwa setiap motor memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi, menurutnya pembalap yang perlu menyatukan diri mereka dengan itu, bukan justru sebaliknya.