Menurut Umam, Gus Yahya harus dapat menunaikan janjinya kepada PWNU, PCNU, dan PCINU, yaitu memimpin NU yang netral dan independen.
“Orientasi Khitah 1926 menjadi janji politik yang harus dipenuhi Kiai Yahya. Namun, PBNU tetap memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga arah politik dan demokrasi di Indonesia dengan memainkan peran strategis dalam konteks politik kebangsaan,” kata Umam saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
“NU tidak boleh terjebak dalam politik praktis,” tegas dia.
Khitah 1926 merujuk pada komitmen bersama untuk menjaga NU agar tetap sesuai dengan semangat saat organisasi itu didirikan pada 1926, yaitu tidak terjebak pada politik praktis, tetapi menerapkan politik kebangsaan dan keumatan.
Untuk mencapai tujuan itu, Umam yang pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidz PCINU Queensland, Australia menyampaikan Gus Yahya harus memastikan NU senantiasa menegakkan Islam Wasathiyah (toleran dan moderat) dalam ruang demokrasi di Indonesia.
Nilai-nilai itu, menurut Umam, perlu diperkuat untuk menghadapi kekuatan ekonomi politik yang memanfaatkan sentimen Islam konservatif dan fundamentalis apalagi pada momen pemilihan umum.
“NU menjadi jangkar, pengayom, sekaligus tempat bertemunya (melting point) seluruh kekuatan Islam moderat di Indonesia agar eksploitasi politik identitas yang digarap melalui hoax, fake news, dan hate speech yang membanjiri ruang demokrasi digital di Tanah Air dinetralisir dengan optimal,” terang Umam.
Gus Yahya terpilih sebagai Ketum PBNU pada pemungutan suara yang berlangsung saat Muktamar Ke-34 NU di Lampung, Jumat.
KH Yahya memperoleh 337 suara unggul dari petahana KH Said Aqil yang mendapatkan 210 suara dari total 548 suara yang masuk, baik dari PWNU, PCNU, dan PCINU.