Makna yang strategis adalah ormas yang lahir di Surabaya pada 31 Januari 1926 itu akan segera memasuki usia Satu Abad pada 2026 dan “Satu Abad” NU itu berada dalam pusaran era digital yang berbeda jauh dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi NU pada “satu abad” pertama (1926-2026).
Hingga kini, peran NU dalam menanggulangi radikalisme dan ekstrimisme sudah diakui berbagai kalangan, tidak saja oleh kekuatan nasional, bahkan kalangan internasional.
Karena itu, bila Muktamar NU kali ini diisi dengan hal-hal yang tidak strategis hingga menimbulkan perpecahan di NU, maka kelompok ekstrem yang selama ini merasa terancam dengan keberadaan dan kekuatan NU sebagai kekuatan Islam moderat terbesar di dunia, akan bertepuk tangan.
“Biarkan Muktamar NU Lampung berjalan dengan wajar dan tidak menabrak AD/ART. Biarkan Warga NU memilih pemimpinnya sesuai hati nurani mereka, sebagaimana pesan salah satu deputi BIN ke saya: Semoga seperti air mengalir bersih tanpa intervensi dan pilihan terbaik warga NU akan jatuh ke tokoh pilihan sesuai nurani. Ayo kita jaga NU jangan sampai pecah,” kata Rais Syuriyah PCINU Tiongkok 2017-2021, KH DR Imron Rosyadi Hamid, dalam cuitannya (14/12/2021).
Sejak kelahirannya, NU sudah memiliki peran strategis dalam menjaga negeri ini dari perpecahan, mengingat kondisi bangsa ini yang sangat majemuk dalam suku, agama, ras, dan antar-golongan, termasuk peran terkini dalam menanggulangi radikalisme dan ekstrimisme yang jelas-jelas mengundang perpecahan di berbagai negara.
“Apapun alasannya, Indonesia nggak boleh pecah, termasuk pecah karena alasan agama,” kata mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagaimana dikutip ‘santri’ Prof KH Imam Ghozali Said dalam dialog podcast arrahim.id (18/12/2021).
Untuk menghindari perpecahan Indonesia yang disebabkan agama, Gus Dur menyebutkan Islam harus diperjuangkan dalam konteks substansi, sebab bila Islam diperjuangkan secara formal hukum/teknis atau formalisasi Islam, maka akan bermasalah terus dengan penganut agama lain, sehingga mengundang perpecahan, padahal perpecahan membuat ibadah pun menjadi sulit.
“Jangan memperjuangkan formalisasi hukum Islam, formalisasi hukum Islam itu hanya untuk penganut Islam, jadikan Islam itu sebagai ruh atau substansi. Sekulerisasi jangan dibiarkan, tapi Islam juga jangan membuat orang menjadi terancam dan membuat orang lain takut, ajarkan Islam dengan pendekatan kultural, bukan dari pendekatan atas atau formal, jadikan Islam bisa diterima kelompok lain,” kata Gus Dur.
Oleh karena itu, Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 20-23 Desember 2021 jangan sampai menimbulkan perpecahan hanya karena urusan Rais Aam atau Ketua Umum PBNU, agar NU mampu menjaga negeri ini hingga melewati “Satu Abad” kedua dari NU (2026-2126).
Apalagi, jamaah/massa/komunitas NU juga semakin bertambah sesuai hasil riset lama yang dikeluarkan oleh lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia, Denny JA, pada 18-25 Februari 2019 (survei terbaru belum ada) bahwa NU merupakan ormas terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.
Hasil survei tersebut menetapkan ormas NU berada pada posisi teratas dengan jumlah 49,5 persen dari 250 juta penduduk Indonesia, atau 108 juta nahdliyyin/NU, lalu Muhammadiyah ada 4,3 persen, gabungan ormas Islam lain ada 1,3 persen, Persatuan Alumni 212 (PA 212) 0,7 persen dan FPI 0,4 persen. Namun, ada 35 persen orang yang tidak merasa menjadi bagian dari ormas yang ada.
Survei itu melibatkan sebanyak 1.200 responden ini dilakukan melalui wawancara secara langsung yang dipilih menggunakan multistage random sampling. Dari total responden, komposisi reponden Muslim di Indonesia sebesar 87,8 persen, sedangkan margin of error atau tingkat kesalahan survei ini pada kisaran 2,9 persen.
Survei LSI ini membuktikan bahwa NU saat ini bukan hanya sebagai pemilik ormas terbesar dalam skala nasional saja, namun juga membuktikan bahwa NU adalah ormas terbesar di dunia. Jadi, NU memasuki usia seratus tahun (1926-2026) itu bukan hanya akan “menghijaukan” Indonesia saja, namun juga “menghijaukan” dunia.
Jamaah digital
Tidak hanya jumah jamaah yang berubah, namun NU juga akan menghadapi kompleksitas masalah yang lebih besar dengan 100 tahun sebelumnya, karena zaman juga sudah berubah dari dunia nyata menjadi dunia maya, dari zaman mesin ke zaman internet.
Artinya, mau atau tidak, NU harus merawat jamaah/massa/masyarakat yang akan berbeda dengan 100 tahun sebelumnya yakni jamaah digital !.
“Program prioritas untuk ‘Satu Abad NU’ itu agaknya perlu menjadi pembahasan peserta Muktamar ke-34 NU,” kata Ketua SC Muktamar NU 2021 Prof H Mohammad Nuh, yang juga salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
“Menjelang umur yang akan memasuki fase satu abad, sidang-sidang komisi pada muktamar perlu membahas beberapa hal, seperti bonus demografi, teknologi digital, mobilitas SDM NU, dan perubahan iklim,” kata Prof Mohammad Nuh saat mengunjungi kampus UIN Raden Intan di Lampung yang menjadi salah satu lokasi muktamar (25/11/2021).
Bonus demografi bagi NU itu penting, karena mayoritas penduduk Indonesia merupakan umat Islam, dan mayoritas umat Islam di Indonesia merupakan warga NU. Artinya, mayoritas bonus demografi merupakan pemuda NU yang harus dididik menjadi “bonus” yang bermanfaat untuk bangsa dan agama.
“Jika tidak dikelola dengan baik, nanti anak muda bukan menjadi bonus, namun menjadi bencana karena tidak berkualitas,” tegas mantan Menteri Pendidikan itu.
Selain bonus demografi, soal teknologi digital juga sangat vital di era modern saat ini, karena setiap individu membutuhkan teknologi digital untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Perkembangan teknologi digital ini harus dikuasai warga NU guna mempermudah aktivitas sehari-hari.
“Kalau dulu itu bahtsul masail itu tinggi-tinggian kitab, maka sekarang cukup simpan, dan buka di gawai,” ujar mantan Rektor ITS Surabaya itu. Tentu, dakwah NU yang merupakan dakwah Ahlussunnah wal Jamaah yang moderat, ke depan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, yakni dakwah NU berbasis teknologi informasi, yang sasaran/target dakwahnya juga kalangan milenial yang perlu bimbingan akhlak, baik dari sisi keislaman, maupun kebangsaan.
Tidak hanya itu, mobilitas vertikal atau peralihan individu dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya, juga sedang terjadi di tubuh NU dan akan terus tumbuh. “Dulu mencari professor (NU) susah banget, sekarang profesor sudah banyak. Dengan SDM yang mumpuni, NU akan menjadi rumah yang besar bagi nahdliyin,” katanya.
Tentu, tidak hanya institusi perguruan tinggi, namun pondok pesantren dan lembaga kajian juga dapat memberikan gagasan terkait NU 100 tahun ke depan.
Penting juga bagi NU adalah perubahan iklim yang merupakan fenomena yang menjadi tanggung jawab setiap individu. Karena mayoritas masyarakat Indonesia merupakan nahdliyin, maka NU memikirkan bagaimana pengentasan permasalahan tersebut. Segenap pengurus dan warga NU diharapkan bisa memberi sumbangsih pemikiran strategis demi nasib NU ke depan dan kemaslahatan bersama.
Bagi NU, adaptasi dengan zaman merupakan pilihan atau batasan di kalangan NU dalam transformasi, yakni mempertahankan yang baik, dan mengambil yang lebih baik (al-muhafazatu ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil aslah).
Jadi, perkembangan demografi, teknologi, mobilitas SDM, dan perubahan iklim, yang bermuara pada digitalisasi itu bagi NU adalah menjaga tradisi yang bernilai baik, sekaligus membuka peluang terhadap sesuatu yang datang dari luar yang dinilai lebih baik dan bermanfaat bagi kemajuan organisasi dan jamaah.
Nilai baik dari digitalisasi adalah integrasi, koneksi dan kolaborasi, namun jalur digital itu harus diikuti dengan pemberdayaan warga NU melalui pemetaan infrastruktur internet hingga tingkat desa, pengembangan pusat data yang integratif di PBNU (big data), dan menguatkan dakwah digital yang menyasar jamaah milenial.
Tanpa pemberdayaan dalam infrastruktur, big data, dan dakwah digital, maka paham keagamaan yang berbeda dengan NU akan mampu merebut hati jamaah digital melalui model pendekatan yang mudah diterima, sesuai dengan zaman, dan gaya kekinian, namun memicu perpecahan republik tercinta.