Presiden Jokowi lalu mengetukkan palu tersebut untuk menutup sidang. Artinya, Indonesia pun memegang tongkat Presidensi G20 mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.
Presiden Jokowi menjelaskan Presidensi G20 Indonesia akan mendorong upaya bersama untuk pemulihan ekonomi dunia dengan tema besar “Recover Together, Recover Stronger”. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif, “people-centered”, serta ramah lingkungan dan berkelanjutan, menjadi komitmen utama kepemimpinan Indonesia di G20.
Dalam pidatonya saat pembukaan Presidensi G20 Indonesia, seperti yang ditayangkan pada YouTube Sekretariat Presiden, pada 1 Desember 2021, Presiden Jokowi mengatakan ada tiga fokus yang akan Indonesia dorong.
Pertama, penanganan kesehatan yang inklusif. Kedua, transformasi berbasis digital, ketiga transisi menuju energi berkelanjutan.
“Saya ingin presidensi Indonesia di G20 tidak sebatas seremonial belaka. Indonesia mendorong negara-negara G20 untuk melakukan aksi-aksi nyata. Indonesia akan terus mendorong negara-negara g20 menghasilkan terobosan-terobosan besar, membangun kolaborasi dan menggalang kekuatan untuk memastikan masyarakat dunia dapat merasakan dampak positif dari kerja sama ini,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya.
Presiden Jokowi berjanji menggunakan tampuk Presidensi G20 untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara-negara berkembang.
“Indonesia berupaya memperkuat solidaritas dunia mengatasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan dan menggalang komitmen negara maju membantu negara berkembang. Negara kaya membantu negara miskin. Kebersamaan adalah jawaban atas masa depan dengan semangat solidaritas,” ungkap Presiden.
Nantinya akan dilangsungkan 150 pertemuan tingkat pimpinan, menteri, deputi, hingga “working group”. Pertemuan-pertemuan tersebut akan terbagi ke dalam dua “track” yaitu “finance track” (isu ekonomi dan keuangan) maupun “sherpa track” (meliputi isu yang lebih luas di luar ekonomi dan keuangan: energi, pembangunan, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, perubahan iklim, dan lain-lain), serta dapat diselaraskan dengan kerja sama multilateral lainnya.
Kelompok 20 (G20) yang berisi 19 negara dengan 1 organisasi regional (Uni Eropa) memang pertama terbentuk pada 1999 di Jerman sebagai respon atas krisis Asia 1997-1998.
Saat dunia kembali menghadapi krisis keuangan global pada 2008, level pertemuan yang tadinya hanya sampai pada tingkat menteri keuangan ditingkatkan menjadi pertemuan kepala pemerintah mulai 2008 di Washington, Amerika Serikat.
G20 pun menjadi bentuk kesadaran aksioma “mencegah lebih baik dari pada mengobati” negara-negara maju yang tergabung dalam G7 –Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, Italia, dan Jepang– bahwa krisis keuangan tidak dapat mereka selesaikan sendiri dan membutuhkan kerja sama dengan negara lain seperti negara-negara berkembang.
Interdependensi sektor keuangan membuat negara-negara maju dalam G7 (dan UE) melihat perlunya aktor lain seperti Rusia, China, Korea Selatan, Australia, Indonesia, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Argentina, Brazil, dan Meksiko diikutsertakan untuk memperbaiki arsitektur keuangan nasional.
G20 menjadi suatu klub eksekutif yang memegang sekitar lebih dari 60 populasi global, 75 persen perdagangan dunia, dan lebih dari 80 persen perekonomian dunia, logikanya bila perekonomian anggota G20 sehat, kondisi perekonomian dunia pun terjaga.
Keunggulan lain G20 adalah partisipasi institusi finansial global seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, maupun bank regional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam pertemuannya sehingga lebih mudah mengordinasikan kebijakan keuangan negara dengan kebijakan lembaga-lembaga tersebut.
Memimpin dalam tantangan
Namun kepemimpinan Indonesia dalam G20 sepanjang setahun ke depan juga memiliki sejumlah tantangan.
Pertama pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama dua tahun yang tidak hanya menelan korban hingga lebih dari 5,3 juta orang dan menjangkiti sekitar 273 juta orang di 222 negara dan teritorial tapi juga berdampak di bidang-bidang lain seperti perdagangan dan keuangan.
Hingga pertengahan 2021, negara-negara G20 telah mengeluarkan 21 miliar dollar AS untuk mendukung produksi, distribusi, dan akses terhadap diagnosis, terapi, dan vaksin. Anggota G20 juga mendukung WHO untuk mengimplementasikan Regulasi Kesehatan Internasional 2005, Dana Solidaritas untuk Respons COVID-19 serta mendukung inisiatif global untuk “Coalition for Epidemic Preparedness Innovations” (CEPI) dan inisiatif akselerator akses peralatan COVID-19 untuk menjamin akses terhadap vaksin, pengobatan, dan peralatan lain bagi semua negara.
Kedua, tantangan di bidang ekonomi. Ekonomi dunia pada 2020 tercatat mengalami kontraksi sebesar 3,2 persen, salah satunya karena pandemi COVID-19 yang hingga saat ini juga belum dapat dikendalikan.
Pandemi mengakselerasi gejala proteksionisme karena penutupan jalur distribusi utama global. Menurut Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, A Prasetyantoko dalam tulisannya, selain meningkatkan biaya logistik, penutupan jalur distribusi juga mengubah peta rantai pasok global sehingga meningkatkan biaya produksi.
Para investor juga mulai melepas kepemilikan saham perusahaan berbasis penerbangan, perhotelan, dan sektor lain terkait dengan pariwisata. Biaya logistik juga terus merangkak naik sehingga mendorong kenaikan harga barang kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Dalam jangka panjang, perekonomian ke depan akan diwarnai dengan pertumbuhan rendah yang disertai kenaikan harga (stagflasi) sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat menurun.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, di sektor keuangan, negara-negara G20 telah mengeluarkan stimulus hingga 11 triliun dollar AS untuk penanganan COVID-19 di bidang ekonomi. Salah satunya adalah melalui inisiatif “Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yaitu penangguhan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri bagi negara-negara paling miskin di dunia yang membutuhkan. Dalam jangka pendek, skema DSSI membantu perekonomian negara-negara miskin melalui penyediaan likuiditas untuk penanggulangan pandemi COVID-19.
Selain itu, G20 juga membuat “common framework” di luar fasilitas DSSI untuk membantu restrukturisasi utang bagi negara yang paling membutuhkan, serta mendorong keterlibatan kreditor sektor swasta.
Ketiga, semakin jauhnya ketimpangan pemulihan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ketimpangan tersebut dapat tampak di bidang kesehatan dan ekonomi.
Di bidang kesehatan misalnya adalah akses terhadap vaksinasi. Data menunjukkan tingkat vaksinasi di negara-negara maju dan sebagian negara berkembang berkisar 60-80 persen (negara maju) dan 25-40 persen (negara berkembang). Namun, di negara-negara miskin, khususnya di Afrika, tingkat vaksinasi masih di bawah 10 persen, bahkan ada yang baru 3-5 persen.
Sedangkan di bidang ekonomi, produktivitas yang meningkat akibat digitalisasi ekonomi di negara-negara maju akan mendorong realokasi sumber daya pada perusahaan atau sektor ekonomi yang mampu beradaptasi, diikuti dengan penyesuaian kebutuhan keahlian pekerja.
Negara maju dengan penguasaan teknologi dan infrastrukturnya akan lebih di depan dalam proses realokasi ini dibandingkan dengan negara-negara berkembang. IMF bahkan menurunkan prakiraan pertumbuhan ekonomi 2021 negara-negara berkembang sebesar 0,4 persen dan menaikkan proyeksi negara maju sebesar 0,5 persen.
Keempat persaingan dua negara besar yang adalah anggota G20 yaitu Amerika Serikat dan China.
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan dan Asisten Deputi Presiden Biden di Asia Pasifik Kurt Campbell dalam tulisan mereka berjudul “Competition Without Catastrophe: How America Can Both Challenge and Coexist With China” di Foreign Affairs pada September/Oktober 2019 menganalogikan hubungan AS dan China sebagai “Perang Dingin” baru. Seperti Uni Soviet, China adalah kompetitor setara dengan sistem politik represif dan ambisi yang besar.
Namun tidak seperti Uni Soviet, China punya peranan besar di dunia dan punya irisan dengan ekonomi AS ditambah dengan relasi diplomatik yang lebih rumit dan ideologi yang lebih fleksibel dibanding Uni Soviet. Artinya tidak tepat lagi menerapkan strategi yang AS lakukan terhadap Uni Soviet kepada China. “containment strategy” yang diterapkan AS pada masa Perang Dingin 1950-1970.
Partai Komunis China telah menunjukkan kemampuan menakjubkan untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan teknologi termasuk pengawasan massal (mass surveillance) dan kecerdasan buatan sehingga memiliki pemerintahan otoriter digital yang efektif.
Selain itu China adalah kompetitor yang paling sengit untuk AS karena saat ini Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China bahkan sudah 25 persen lebih besar dibanding AS sehingga China. Dengan kondisi tersebut, masalah global akan sulit diatasi bila AS dan China tidak bekerja sama termasuk untuk mengatasi perubahan iklim dan juga pandemi COVID-19.
Belajar dari Korsel
Pakar Hubungan Internasional dari The Sejong Institute Korea, Woo Jung Yeop mengakui bahwa kompetisi antara AS dan China dapat menempatkan Indonesia sebagai ketua G20 di posisi yang sulit.
“Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 berbeda dengan Presidensi Korea Selatan (Korsel) pada 2010 karena saat ini dengan kompetisi yang semakin ketat antara AS dan China pertemuan G20 lebih cocok disebut sebagai ‘global power competition’ dibanding ‘multilateral discussion on the matters’ dan akhirnya membatasi ruang bagi ketua G20 untuk melakukan manuver,” kata Woo di Jakarta pada Senin (13/12).
Woo menyampaikan hal tersebut dalam “workshop” yang berjudul “Security Issues on the Korean Peninsula” untuk kegiatan “Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation.
Menurut Woo, pada 2010 saat Korsel mendapat presidensi G20, AS masih dipimpin Presiden Barack Obama yang punya pandangan positif terhadap China sehingga AS maupun China dapat bekerja sama dengan anggota-anggota G20 lain untuk mengatasi masalah global saat itu.
“Korsel dalam memimpin G20 dapat melakukan lebih banyak manuver misalnya dengan mengundang lebih banyak negara, menetapkan agenda diskusi G20 dan lainnya,” tambah Woo.
Apalagi saat itu Korsel dipimpin oleh Presiden Lee Myung Bak yang lebih pro-AS, punya hubungan baik dengan Presiden Obama dan ingin terlibah lebih banyak dalam isu-isu global.
“Jadi bukan masalah kapasistas dan kemampuan Indonesia yang berbeda dengan Korsel melainkan karena saat ini terjadi kompetisi sengit antara AS dan China maka forum multilateral menjadi ajang tarik-menarik kedua negara sehingga mungkin peran Indonesia akan terbatas,” ungkap Woo.
Namun Woo meyakini Indonesia dapat memainkan peran penting saat memimpin G20 dengan melakukan diplomasi yang cerdas.
Inisiatif Indonesia khususnya untuk menyatukan negara-negara berkembang dapat menjadi kunci agar ada perimbangan kekuatan AS-China.
Belajar dari KTT Seoul (2010) dimana pemimpin-pemimpin G20 memutuskan untuk memberikan porsi bobot suara yang lebih besar kepada negara-negara berkembang termasuk untuk ikut menentukan pembuatan keputusan-keputusan strategis di IMF dan Bank Dunia, Indonesia juga dapat memprioritaskan kepentingan negara-negara berkembang.
Para pemimpin G20 di Seoul (2010) sepakat menghasilkan kerangka kerja bagi pertumbuhan ekonomi global yang kuat, seimbang, berkelanjutan, serta membentuk Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI) sebagai “platform” untuk mempromosikan inklusi keuangan dan berjanji untuk tidak melanjutkan kebijakan-kebijakan proteksionis dan terus bekerja demi putaran Doha tentang pembicaraan liberalisasi perdagangan.
Peluang Indonesia
Dapat dikatakan salah satu keunggulan G20 adalah memberikan fleksibilitas dan kelenturan dalam merespons berbagai perkembangan ekonomi global karena sifatnya yang informal sehingga adaptif untuk membuat agenda pembahasan tata kelola ekonomi global berbasis konsensus anggota-anggotanya.
G20 sejak berdiri telah menghasilkan 457 komitmen tata kelola ekonomi global, di mana pada setiap KTT dihasilkan 20-40 komitmen.
Dengan melihat tantangan, situasi global dan natur dari G20 maka Indonesia diharapkan bisa menjadi pemimpin dan koordinator yang efektif bagi anggota-anggota G20 dan pada saat bersamaan menjadi menjadi jembatan penghubung antara negara-negara maju anggota G20 serta negara-negara berkembang di G20 bahkan dengan negara-negara tertinggal di luar G-20.
Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah pertama, membangun soliditas negara-negara berkembang dengan menyuarakan harapan dari negara-negara berkembang di luar G20 ke dalam forum G20.
Sejumlah harapan yang wajib disuarakan antara lain adalah akses setara atas vaksin COVID-19, bantuan untuk transformasi keuangan berbasis digital serta tentu bantuan modal dan teknologi menuju energi berkelanjutan.
Kedua, Indonesia juga bisa mengajak anggota-anggota G20 untuk berkolaborasi dan berkontribusi positif dalam menjaga perdamaian, stabilitas kawasan sekaligus memajukan kerja sama di Indo-Pasifik serta dunia.
Seperti adagium “global problems need global solutions” mata banyak negara menanti kerja nyata di G20 untuk menyelesaikan masalah global. Selamat bekerja.