Pemuda asal Bima itu memiliki sorot mata tajam, meski dua matanya tidak lagi utuh. Satu matanya harus menggunakan mata palsu.
Mata palsu itu juga berwarna hitam, untuk menggenapi penampilan kedua matanya.
Di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Kamis, 9 Desember 2021, ia bercerita. Cerita tentang pengalamannya, bagaimana ia bisa kehilangan tidak hanya satu matanya, namun juga bagian tubuh lainnya yang kini tidak sempurna.
Pemuda kelahiran 1982 itu mulai merantau ke Jakarta pada 2001 setelah lulus jenjang pendidikan menengah atas di Bima, dengan harapan dapat berkuliah, meraih masa depan yang lebih baik, untuk mengangkat nasib keluarganya di kampung.
“Saya terlahir dari keluarga yang tidak mampu,” ucap penyintas korban terorisme itu.
Selama 2,5 tahun pertama ia bekerja sebagai petugas pengamanan (Satpam) di Serang, dan tinggal menumpang di kerabatnya.
Karena situasinya tidak memungkinkan untuk kuliah, ia memutuskan berhenti dan pindah ke Jakarta.
Ia kembali melamar sebagai satpam di salah satu perusahaan alih daya pengamanan, dan ditempatkan di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta. Pekerjaan yang hingga kini dilakoninya.
Sekitar tiga bulan bekerja di Kedutaan Australia, pada 9 september 2004 pagi, sebuah peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya mengguncang jiwa dan raganya.
Sebuah mobil, membawa bom meledak di depan Kedubes Australia sekitar pukul 10.30 WIB yang mengakibatkan korban jiwa.
Ia merupakan salah satu petugas pengamanan yang sedang bekerja kala itu, yang selamat dari maut. Sebanyak sembilan orang meninggal dan lebih dari seratus orang mengalami luka-luka dalam peristiwa itu.
Ia berdiri sekitar 10 meter dari gerbang Kedutaan Australia, dan tiba-tiba ada ledakan yang dahsyat.
“Saya waktu itu tidak tahu apa yang terjadi dengan saya. Tiba-tiba badan saya terlempar, dengan spontan saya takbir Allahuakbar tiga kali saya ingat, dan saya terjatuh, dan saya melihat sekujur badan saya penuh darah,” kenangnya.
Ledakan itu membuat kedua tangannya luka parah, sementara darah di kepala terus mengucur, begitu pula dengan kakinya. Pakaiannya pun sudah tidak utuh lagi.
“Dan detik itu, membuat saya merasa akhir dari perjuangan hidup saya, akhir dari perjalanan saya, saya pasrahkan kepada Allah, ya Allah, jika hari ini hari terakhir buat hamba saya ikhlas,” katanya dengan terbata-bata.
Yang ia ingat kala itu adalah keinginannya untuk berjuang membahagiakan orang tua saat akan ke Jakarta, menjadi pendorongnya untuk tetap bertahan.
Di saat sekujur tubuhnya tak lagi bisa bergerak, dalam ingatannya, ada tiga orang datang mengangkut dirinya dan di bawa ke RS MMC.
Kemudian ia dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo. Dari RS Cipto Mangun Kusumo, ia kemudian dipindahkan lagi ke RS Medistra.
Akibat ledakan tersebut, hampir saja ia kehilangan kedua tangannya. Tangannya sempat akan diamputasi. Namun tidak terjadi. Kedua tangannya akhirnya dioperasi. Pen pun dipasang untuk memperkuat tulang tangan. Sementara kulit di bagian paha kaki diambil untuk menambal kulit di tangannya. Ia pun dioperasi berkali-kali.
Selama enam bulan ia berada di rumah sakit tersebut untuk penyembuhan dan belajar jalan.
“Alhamdullillah saya masih bisa bersyukur, tangan saya masih bisa digunakan walaupun tidak normal, ini sudah hampir putus dipasang pen, bongkar pasang dan inilah hasil yang maksimal yang bisa dokter lakukan buat saya dan saya bersyukur,” ujarnya lirih.
Setelah enam bulan ia bekerja kembali di tempat yang sama. Berpikir bahwa masa penderitaan telah berakhir. Ternyata belum usai.
Saat jalan, ia tiba-tiba terjatuh, dan di bawa kembali ke RS. Di RS, dokter mendiagnosa adanya masalah syaraf di kepala yang sulit disembuhkan. Satu-satunya cara adalah meminum obat syaraf yang telah ditentukan setiap hari dan tidak boleh berhenti. Obatnya pun tidak hanya satu.
“Saking banyaknya obat sejak 2004, saya sempat berhenti untuk minum obat itu, dan saya jatuh lagi di jalan, dan dokter bilang ini obat tidak boleh berhenti, dan kamu harus tetap meminumnya, dan sampai hari ini masih mengkonsumsi obat syaraf itu, dan saya tidak tahu kapan harus berhenti mengkonsumsi obat ini,” ungkapnya.
Masalah syaraf bukan akhir cerita. Mata kirinya yang awalnya tidak terlalu masalah mengalami pendarahan. Terjadi pembengkakan. Sebuah serpihan masih bersarang di mata kirinya.
Dokter menyatakan mata kirinya harus diangkat. Bila tidak maka akan berpengaruh terhadap mata sebelah kanannya. Pada 2010, ia pun mengikhlaskan mata kirinya untuk diangkat.
“Saya ikhlas ridlo untuk ini, alhamdulillah saat ini saya menggunakan satu mata, mata kiri saya mata palsu dan bagi saya itu adalah ujian sekaligus nikmat karena dengan hal ini saya bisa tetap bangkit, tetap merasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, karena hidup itu tetap membuat saya tetap tangguh kukuh,” tuturnya.
Kehilangan salah satu matanya, tidak membuat Sudirman patah semangat. Berselang empat tahun kemudian ia pun meneruskan langkahnya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Kuliah di Univesitas Indraprasta, Jakarta, Sudirman mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Ia pun mampu menggondol gelar sarjana.
Keinginan untuk meraih Pendidikan yang lebih tinggi hingga saat ini tak pernah padam. Bila ada kesempatan meraih beasiswa untuk S2, ia pun akan mengambilnya.
Duta damai
Sudirman mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Berbagai kesulitan yang menimpanya dihadapinya dengan ikhlas. Baginya, ujian hidup merupakan proses untuk mencapai impian.
“Allah punya jalan, namun ujian itu tidak membuat saya untuk jatuh tapi justru bangkit kembali,” katanya.
Pada 2013, cerita hidup Sudirman menemukan arah baru. Bukan lagi menangisi teror, namun menjadi duta untuk perdamaian, melawan terorisme dengan menghentikan lingkaran setan kekerasan.
Saat itu, sebuah organisasi masyarakat sipil, Aliansi Damai Indonesia, menggandengnya untuk sebuah proyek percontohan melawan spiral kekerasan terorisme.
Sebuah upaya menyadarkan masyarakat Indonesia untuk menjauhi terorisme dan menjadikan masyarakat Indonesia yang damai. Sebuah agenda melawan terorisme.
Ia pun dipertemukan dengan seorang teroris yang sudah tobat, Ali Fauzi, di Klaten, bersama dengan para korban terorisme lainnya. Pertemuan yang sulit dibayangkan.
Ali Fauzi, merupakan adik dari para teroris Bom Bali I, Amrozi, Ali Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron.
Ali Fauzi tidak terlibat langsung dalam Bom Bali I. Namun demikian, namanya masuk sebagai petinggi di jaringan teroris. Apalagi, dia merupakan pelatih untuk merakit bom.
Ali Fauzi mengatakan jabatan terakhirnya di jaringan Jamaah Islamiyah adalah Kepala Instruktur Perakitan Bom.
Ia mengakui, salah satu titik baliknya dan menjadi garda depan melawan terorisme adalah saat bertemu dengan korban. Hatinya meleleh ketika melihat korban teror yang harus merasakan kehilangan.
Pertemuan itu diakui oleh Sudirman terasa berat, dirinya seperti tidak siap, bertemu dengan seorang yang pernah menjadi pelaku teror.
“Jujur saya terlibat salah satu projeknya AIDA di tahun 2013 di Klaten ketika kami bertemu dengan Pak Ali Fauzi, dari Bali, dari Marriott, kami begitu marah, kami begitu benci, kenapa kami diperlakukan seperti ini, apa dosa kami, itu pertanyaan kami yang waktu itu kami tidak siap untuk bertemu kami tidak siap untuk berdiskusi dengan beliau,” paparnya.
Namun demikian, upaya AIDA untuk terus merangkul, dan juga interaksi dengan Ali Fauzi yang berlangsung terus menerus membuatnya luluh. Keduanya terlibat berbagi kisah masing-masing.
Ali Fauzi yang sudah tobat, kini menjadi salah satu garda depan melawan terorisme, melawan para sekutunya dulu.
Pertemuan demi pertemuan, interaksi demi interaksi, membuat keduanya pun saling menyelami. Dendam yang dirasakan pun luluh.
Pertemuan itu menjadi proses untuknya bertahan, menjadi proses untuk bangkit. Lewat pertemuan itu, keberanian untuk bicara tentang pengalamannya tumbuh. Trauma itu pun semakin memudar. Keberanian melawan terorisme pun tumbuh.
Kini ia pun menemukan tujuan baru hidupnya. Melawan terorisme, melawan lingkaran kekerasan. Melawan aksi teror yang membuat banyak orang sengsara.
Sebagai korban, ia berkeinginan untuk terus berkontribusi, melalui kisahnya, untuk kembali menyadarkan bahaya terorisme dan lingkaran kekerasan.
“Walaupun berat tapi saya pikir demi kedamaian, demi kehidupan kita yang lebih baik ke depannya, kenapa kami korban tidak bisa berperan untuk bangsa dan negara,” ujarnya.