“Situasi yang mengalami deintelektualisasi pada iklim politik, bahkan sosial, dan ekonomi di Indonesia sekarang ini harus dilihat dengan serius,” ujar Fachry Ali saat menjadi narasumber dalam webinar Peluncuran Prisma Edisi “Setengah Abad Prisma” yang disiarkan langsung di kanal YouTube LP3ES Jakarta, dipantau dari Jakarta, Sabtu.
Imbauan tersebut muncul, lanjut dia, karena sistem politik Indonesia belakangan ini cenderung lebih berorientasi kepada partai-partai politik dan justru meminggirkan kaum intelektual.
“Lingkungan sosial-politik sekarang ini adalah lingkungan para pembesar yang lahir melalui proses mobilisasi vertikal dengan wahana partai politik,” jelas Fachry Ali.
Secara lebih lanjut, dia juga menyampaikan partai-partai politik telah menjadi discourse creator. Artinya, mereka menciptakan wacana-wacana yang sebagian besar membuat generasi muda juga bermimpi untuk mengambil posisi di partai politik. Dengan demikian, dominasi kuasa partai politik pun semakin meningkat.
Meskipun begitu, ujar Fachry Ali, kondisi disintelektualisasi itu harus dilihat dalam konteks optimistis.
Menurutnya, sumber-sumber kebenaran dan narasi-narasi yang diciptakan penguasa dari partai politik semakin kehilangan wibawa. Dengan demikian, dunia intelektual sebenarnya masih berpotensi untuk melakukan intelektualisasi kembali terhadap sistem politik di Indonesia, bahkan sistem sosial dan ekonomi.
Fachry Ali yang juga pernah menjabat selaku Kepala Program Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) periode 1985-1989 itu pun menilai intelektualisasi tersebut dapat diwujudkan, salah satunya, melalui keberadaan Prisma.
Sebagaimana dimuat dalam laman resminya, Prisma merupakan bacaan populer untuk komunitas intelektual, mahasiswa, akademisi, dan penentu kebijakan di pemerintah ataupun dunia usaha. Di dalamnya, dimuat pemikiran-pemikiran alternatif, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis, ataupun gagasan orisinal yang kritis dan segar terkait persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Dalam sejarah Indonesia, Prisma pernah mengambil posisi sebagai media yang mengkritisi model pembangunan dan kekuasaan negara. Prisma pun memberi sumbangan yang banyak terhadap pembangunan Indonesia.
“Di sinilah kemudian letak struktural dari Prisma. Ia akan menjadi sebuah arus baru mengulang apa yang terjadi pada tahun 1971, tetapi dalam situasi di mana para pengambil keputusan tidak menaruh perhatian pada dunia intelektual,” jelas Fachry Ali.
Untuk itu, dia pun mendorong Prisma agar dapat menyasar penulis ataupun pembaca dari kalangan generasi muda untuk mewujudkan intelektualisasi, baik pada sistem politik maupun sosial dan ekonomi di Indonesia.