Dulu, tebing ini dikenal sebagai area tambang batu andesit yang berujung rusaknya alam. Berkat kerja keras dan kesabaran, kawasan ini bermetamorfosis menjadi objek wisata yang jadi salah satu andalan Trenggalek.
—
DARI kejauhan, keindahan tebing yang terletak di Desa Nglebo, Kecamatan Suruh, tersebut sudah terlihat. Tebing curam dengan kemiringan hampir 90 derajat itu terlihat hijau dan alami.
Padahal, dulunya, tebing ini menjadi sumber bencana sekaligus sumber penghasilan sebagian warga. Disebut sumber penghasilan karena tebing tersebut menjadi salah satu pusat penambangan batu andesit. Disebut sumber bencana, aktivitas tambang itu menimbulkan kerusakan alam di kawasan tersebut yang berujung terjadinya berbagai bencana. Mulai banjir hingga longsor.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Lambang Kuning Fals Yudistira menyebut, adalah sebuah fakta bahwa masyarakat dulu pernah mengeksploitasi kekayaan alam di tebing tersebut untuk dijual. ”Seiring perjalanan waktu, material tambang itu kian habis dan tanpa disadari praktik tersebut telah ikut menyumbang kerusakan lingkungan,” katanya.
Sampai akhirnya, aktivitas tersebut berhenti sekitar 2009 silam. Saat itu, kondisi tebing benar-benar rusak. Sebab, tak ada yang namanya pemulihan atau revitalisasi pasca penambangan .
Kondisi itu memicu kesadaran warga yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis). Mereka berkomitmen untuk menata kembali dan mengelola kawasan tebing tersebut. ’’Tak hanya untuk membenahi lingkungan yang rusak, tapi juga untuk menyadarkan masyarakat bahwa meningkatkan perekonomian bukan dengan cara merusak,’’ kata fals.
Perlahan-lahan kawasan di sekitar tebing dibenahi. Targetnya menjadi objek wisata. Sejumlah fasilitas dibangun di fase awal. Sampai akhirnya, WTL diresmikan pada Februari 2018 lalu. Di masa awal, sebagian besar pengunjung WTL adalah penggemar panjat tebing.
Seiring perjalanan waktu, berbagai fasilitas tambahan dibuat. Mulai gazebo, wahana permainan, hingga spot-spot yang menawarkan keindahan. Sehingga membuat WTL menjadi destinasi yang menyajikan ragam atraksi wisata.
Tiga tahun mengelola WTL, kata Fals, tidaklah mudah bagi pokdarwis. Gesekan antarwarga yang pro dan kontra sudah bukan rahasia lagi. Namun, lambat laun, masyarakat makin sadar bahwa mencari rezeki tidak harus dengan merusak lingkungan. ’’Walaupun perjalanannya tertatih-tatih, yang jelas manfaatnya begitu terasa,’’ ujarnya.
Hal ini terbukti. Sejak WTL menjadi objek wisata, warga bisa meningkatkan ekonomi keluarga melalui berjualan makanan dan minuman (mamin). Selain itu, pemasukan wisata melalui retribusi tiket, flying fox, dan hingga sewa glamping menambah penghasilan warga.
Kini, Fals dan pokdarwis tengah menggagas konsep baru di WTL. Paradigma wisata tak lagi hanya sebatas membangun fasilitas demi memuaskan wisatawan. Tapi juga tentang bagaimana menyuguhkan wisata yang melibatkan budaya dan mengenalkan cenderamata pelaku UMKM, perkebunan, maupun pertanian.
Salah satu yang digagas adalah atraksi wisata dari cerita rakyat. Juga mengelola sumber mata air yang dulu diyakini warga dapat menambah awet muda. Dengan cara itu, kata Fals, sektor wisata senantiasa terus berkembang. ’’Kita akan bermigrasi dari tiket ke paket,’’ ucapnya.
Baca Juga: Ini Cerita Keluarga yang Bingung Cari RS di Surabaya
Apa yang tersaji di WTL mendapat begitu banyak apresiasi. Bahkan, wahana ini sudah jadi ikon baru. Para pengunjung juga dibuat terkesan. ’’Melalui pengelolaan wisata, juga dapat menyadarkan masyarakat bahwa eksploitasi terhadap lingkungan justru merusak lingkungan,’’ pungkasnya.