Hasil monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik menunjukkan bahwa sebanyak 84 badan publik masuk ke kategori informatif, 64 badan publik dalam kategori menuju informatif, 53 badan publik dalam kategori cukup informatif, 37 badan publik dalam kategori kurang informatif, dan 99 badan publik dalam kategori tidak informatif.
Dikutip dari buku Transformasi Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia oleh Komisi Informasi Pusat, terdapat peningkatan jumlah pada badan publik yang memasuki kategori informatif apabila dibandingkan pada jumlah badan publik di dalam kategori tersebut pada tahun 2020, yakni sebanyak 60 badan publik.
Selain itu, peningkatan juga terjadi pada kategori menuju informatif. Sebelumnya, pada 2020, hanya 34 badan publik yang berada dalam kategori menuju informatif. Pada 2021, jumlah tersebut meningkat menjadi sebanyak 64 badan publik.
Bagi Komisi Informasi Pusat, peningkatan tersebut merupakan capaian dan angin segar bagi masa depan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Terlebih, dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menempati peringkat informatif sebagai lembaga negara dan lembaga pemerintah non-kementerian.
Ironisnya, pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan salah satu pertimbangannya adalah tidak terpenuhinya asas keterbukaan ketika menyusun RUU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menunjukkan bahwa meski suatu badan publik telah menempati peringkat informatif, implementasi dari keterbukaan tersebut masih harus memperoleh pengawasan lebih jauh dari sekadar monitoring dan evaluasi oleh Komisi Informasi.
Penguatan Komisi Informasi
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra mengajukan usulan untuk menguatkan kedudukan Komisi Informasi dalam menjamin keterbukaan informasi publik di Indonesia. Melalui penguatan kedudukan Komisi Informasi, Setri meyakini bahwa Komisi Informasi dapat melakukan langkah-langkah yang lebih proaktif dalam memastikan berbagai badan publik benar-benar memberi akses informasi kepada masyarakat.
Ia mengambil contoh situasi jika kedudukan Komisi Informasi diperkuat dan proaktif, yakni, ketika dalam pembahasan suatu undang-undang Komisi Informasi menganggap bahwa partisipasi publik dan akses publik terhadap informasi masih kurang, Komisi Informasi dapat membuat pernyataan resmi terkait hal tersebut dan mengundang masyarakat untuk melaporkan kendala mereka kepada Komisi Informasi.
Ia meyakini bahwa metode tersebut merupakan metode menjemput bola yang tidak hanya mendorong badan publik untuk menjadi lebih terbuka, tetapi juga dapat memancing partisipasi masyarakat agar tidak pasif dalam mencari informasi. Tidak lagi menunggu laporan dari masyarakat secara pasif baru menindaklanjuti.
Terkadang, masyarakat tidak bertanya bukan karena mereka pasif, melainkan karena mereka tidak tahu apa saja isu yang tengah bergulir di publik. Dengan pernyataan resmi, serta ajakan aktif dari Komisi Informasi, Setri berharap masyarakat dapat terpancing untuk menjadi lebih aktif dalam mencari informasi yang akurat.
Bagi Setri, Komisi Informasi yang lebih proaktif merupakan gebrakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterbukaan informasi publik di Indonesia.
Revisi UU KIP
Ketua Komisi Informasi Pusat I Gede Narayana mengatakan bahwa terobosan Komisi Informasi yang proaktif tidak dapat dilakukan karena berada di luar ranah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Komisi Informas lahir dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Tidak ada ayat-ayat yang memberi wewenang bagi Komisi Informasi untuk melakukan berbagai tindakan proaktif sebagaimana yang dipaparkan oleh Setri. Gede Narayana mengatakan bahwa boleh saja melakukan berbagai terobosan, asalkan tidak keluar dari ranah undang-undang.
Peran aktif Komisi Informasi berada di dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik di masing-masing badan publik.
Ke depannya, ia berharap setelah melakukan monitoring dan evaluasi, Komisi Informasi dapat duduk bersama berbagai badan publik, lembaga swadaya masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya untuk mendiskusikan hasil akhir dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterbukaan informasi publik.
Selain itu, Gede Narayana juga mengingatkan bahwa di masing-masing badan publik telah ada divisi yang membidangi atau menjamin keterbukaan informasi kepada publik. Oleh karena itu, terobosan berupa Komisi Informasi yang lebih proaktif memiliki risiko tumpang-tindih dengan kewenangan dari berbagai lembaga lainnya.
Meskipun demikian, Gede Narayana memandang perlu untuk melakukan perubahan substansi atau revisi terhadap Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik guna beradaptasi pada perkembangan peradaban masa kini.
Selaras dengan Gede Narayana, Komisioner Komisi Informasi Pusat Romanus Ndau Lendong juga mengatakan bahwa tidak memungkinkan untuk menciptakan terobosan yang memungkinkan Komisi Informasi menjadi lebih proaktif dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang saat ini sedang berlaku.
Romanus mengungkapkan bahwa sesungguhnya para pembuat undang-undang berharap agar masyarakat menjadi lebih proaktif dalam meminta informasi setelah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik disahkan. Artinya, tidak hanya badan publik yang harus menjadi lebih terbuka, tetapi masyarakat juga harus menjadi lebih proaktif dalam menyambut adanya undang-undang tersebut.
Apabila dibandingkan dengan masyarakat yang mencari informasi langsung ke badan publik, lebih banyak jumlah masyarakat yang mencari informasi di media sosial. Padahal, media sosial rentan dengan informasi-informasi hoaks dan provokatif yang dapat mengacaukan arus informasi di tengah masyarakat.
“Hal yang menipu dan hal yang benar itu sama-sama meyakinkan. Yang bisa membedakan hanya orang yang punya literasi bagus,” tutur Romanus.
Oleh karena itu, selama revisi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik masih belum menjadi agenda pemerintah dan penguatan Komisi Informasi masih belum terjadi, mengedukasi masyarakat mengenai kemajuan teknologi komunikasi dan informasi harus menjadi prioritas pemerintah.
Indonesia, ke depannya akan membutuhkan Komisi Informasi yang lebih proaktif guna menegakkan praktik dari keterbukaan informasi publik di berbagai badan publik, terlebih dengan arus informasi yang kian deras di masa digitalisasi. Penguatan Komisi Informasi akan memberi dampak yang signifikan terhadap pembasmian hoaks dan disinformasi pada masa Society 5.0 atau Masyarakat 5.0.