Menurut dia, pasal-pasal multitafsir harus jadi perhatian agar tidak ada masyarakat yang tercederai oleh UU ITE.
“Selama ini cukup banyak masyarakat tercederai dengan penerapan ketentuan pasal UU ITE, harus dipastikan tidak akan terjadi lagi, masukan publik perlu didengar dengan optimal,” kata Christina saat audiensi dengan Amnesty Internasional Indonesia secara virtual di Jakarta, Rabu.
Dalam audiensi itu, Christina sebagaimana dikutip dari siaran tertulisnya, menyampaikan ia yakin revisi UU ITE merupakan upaya pemerintah menjawab berbagai keresahan masyarakat.
DPR RI, terkait itu, memiliki keinginan yang sama agar revisi UU ITE nantinya dapat menjawab berbagai persoalan yang dialami oleh publik.
Dalam pertemuan dengan Amnesty Internasional Indonesia, Christina Aryani mencatat beberapa masukan dari masyarakat soal revisi UU ITE.
“Dari audiensi ini, kami mendapat tambahan masukan apa yang berkembang di masyarakat, apa harapan untuk menjawab kekhawatiran yang ada. Ini akan menjadi catatan kami dalam pembahasan revisi UU ITE,” terang Christina.
Christina memahami publik resah karena ada pasal-pasal karet yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi UUD 1945.
“Muncul pertanyaan apakah revisi ini akan membungkam suara-suara kritis atau tidak, apakah revisi akan menjamin kebebasan berekspresi. Ini semua jadi perhatian publik yang menjadi catatan bagi kami di DPR RI,” sebut dia.
DPR RI, Christina lanjut menyampaikan, berharap upaya merevisi UU ITE, yang diusulkan pemerintah, dapat menghasilkan regulasi yang tidak represif.
“Itu kami sepakat supaya tidak ada masalah multitafsir lagi. Ketentuan pidana itu harus jelas sehingga tidak ditafsirkan macam-macam,” kata dia.
Oleh karena itu, ia berpandangan pemerintah dan DPR RI perlu membuka ruang yang optimal bagi publik selama pembahasan revisi UU ITE berlangsung.