Teras Narang: Hutan adat di Kalteng jangan masuk APL

Palangka Raya (BabatPost.com) – Anggota DPD Agustin Teras Narang mengingatkan pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota di Kalimantan Tengah agar menetapkan hutan adat secara cermat, tepat, dan tidak masuk areal penggunaan lain (APL).
Read More

“Permintaan itu berkaca dari pengalaman penetapan hutan adat di Kabupaten Pulang Pisau yang ternyata berada di APL,” katanya saat menjadi pembicara kunci pada Sosialisasi Pengakuan dan Penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) digelar Jangkar Solidaritas Hukum KAIROS dan Magister Hukum Pascasarjana Universitas Palangka Raya di Nanga Bulik, Selasa (23/11).

Jika lokasi hutan adat berada di APL, katanya, hal itu sama saja mengurangi atau mempersempit wilayah APL Kalteng.

“Bukannya menambah. Seharusnya bila ingin membuat hutan adat, lokasinya harus berada di kawasan hutan, bukan di APL,” kata dia.

Agustin Teras Narang yang pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2015 itu, menyebut hingga saat ini  kawasan APL di provinsi setempat jauh lebih kecil dibandingkan dengan kawasan hutan.

Alhasil, katanya, banyak lahan masyarakat dan pemukiman penduduk serta perkantoran, berada di kawasan hutan.

Oleh karena berada di kawasan hutan, katanya, banyak masyarakat Kalteng, antara lain tidak bisa mengajukan pembuatan surat kepemilikan lahan dan rumah.

“Jadi, saya berharap pemerintah pusat dalam memberikan hutan adat kepada masyarakat di Kalteng, tidak lagi berada di kawasan APL, melainkan fokus di kawasan hutan. Kawasan hutan di Kalteng sampai sekarang ini masih jauh lebih luas dibandingkan APL,” kata dia.

Dalam sosialisasi itu, dirinya mengakui saat menjabat Gubernur Kalteng, telah berhasil mendorong lahirnya keberpihakan pada MHA lewat Perda Lembaga Masyarakat Adat serta perda terkait lainnya. 

Dia mengatakan dalam memperkuat wawasan terhadap MHA, para tokoh adat Dayak, baik damang maupun mantir, diajak ke Sabah dan Kinibalu untuk belajar tentang masyarakat adat Dayak di Malaysia. Rombongan itu termasuk yang terbesar karena tidak mungkin para damang, mantir, tokoh masyarakat adat berkembang pemahamannya apabila hanya belajar di sekitar Kalteng.

“Mereka juga harus punya wawasan lebih luas dari masyarakat Dayak yang ada di negara lain. Apa yang baik diambil dan kalau itu dianggap kekurangan, maka tentu kita akan perbaiki. Kita juga tidak boleh klaim kita dan kelompok kita yang paling baik,” kata Teras.

Untuk itu, lanjut dia, penting ada keberpihakan dan keberanian dalam memperjuangkan MHA agar diakui, dilindungi, dan diberdayakan.

Selain itu, perlu membuat mekanisme identifikasi terhadap etnisitas dari mereka yang mengaku Dayak agar jelas dan terukur penyebutan MHA dalam konteks masyarakat adat Dayak.

“Ini dulu pernah saya usulkan saat menjabat sebagai Presiden Masyarakat Adat Dayak Nasional,” demikian Teras.

Related posts

Exit mobile version