“Tanpa regulator yang baik, ruang siber justru akan menjadi ajal bagi demokrasi,” kata Khairul Fahmi ketika memberi paparan dalam talkshow nasional bertajuk “Polemik Freedom of Speech Sebagai Penerapan Cyber Democracy di Indonesia” yang disiarkan di kanal YouTube Hima Ilmu Politik Unair, dipantau dari Jakarta, Minggu.
Berdasarkan pengamatan Khairul pada berbagai tahapan Pemilu 2019, dunia maya atau ruang siber telah menjadi arena politik kebencian dan polarisasi bagi masing-masing pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Ruang siber yang penuh akan konten-konten bernuansa negatif dan polarisasi diakibatkan oleh orang-orang yang merasa bebas dalam mengatakan apa pun, termasuk ujaran kebencian, di balik anonimitas.
“Seolah-olah ruang digital ini menjadi arena anarki. Anonimitas itu, ya, bisa membuat kebebasan berpendapat menjadi tidak bertanggungjawab,” ucap dia.
Padahal, menurut Khairul, seseorang dapat menggunakan ruang siber untuk menjadi wadah berpendapat dan beropini secara bertanggung jawab dan tidak dibatasi oleh waktu. Selain itu, ruang siber juga memiliki potensi untuk membantu masyarakat dalam menemukan orientasi politik mereka, membangun opini, juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan politik.
“Kalau menggunakan ini sebagai sarana menemukan orientasi politiknya, ya oke, karena menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab,” ujarnya.
Oleh karena itu, Khairul menekankan pentingnya pemerintah menjalankan peran sebagai regulator yang baik guna mencegah ruang digital menjadi arena anarki. Adapun ciri dari regulator yang baik adalah mampu memfasilitasi ruang-ruang kebebasan berpendapat, mampu memberikan definisi yang jelas atas apa yang disebut sebagai kebaikan bersama, serta mengetahui batasan intervensi yang dilakukan.
“Kita tidak boleh menganggap bahwa peran negara sebagai regulator itu tidak lagi relevan di masa depan,” kata Khairul.