Staf khusus jelaskan pernyataan Menaker soal tingginya upah minimum

Kalau upah tidak cocok dengan ‘output’, kesimpulannya upah terlalu tinggi.

Jakarta (BabatPost.com) – Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Dita Indah Sari menjelaskan pernyataan Menaker Ida Fauziyah soal tingginya upah minimun di Indonesia.

Read More

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/11), Dita mengatakan bahwa pernyataan Menaker yang menyebutkan upah minimum terlalu tinggi menggunakan komparasi atau pembanding nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia.

“Ketika Ibu (Menaker) mengatakan bahwa upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap bahwa pekerja itu sah mendapatkan upah lebih rendah,” kata Dita.

Dita menyebutkan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia sebetulnya masih cenderung rendah jika dibandingkan dengan upahnya.

Berita Terkait :  Partai NasDem menargetkan menang Pemilu 2024

Ia menyebutkan nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia itu masuk ke dalam urutan ke-13 di Asia.

“Baik jam kerjanya maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil,” ujarnya.

Dari sisi jam kerja saja, kata dia, di Indonesia sudah terlalu banyak hari libur bagi pekerja. Bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara saja, jumlah hari libur di Indonesia masih terlalu banyak.

Jika dibandingkan dengan Thailand, misalnya, jam kerja di Indonesia lebih sedikit di tiap minggunya. Di Thailand dalam seminggu jam kerja mencapai 42—44 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam.

Pada hari libur, di Indonesia dalam setahun ada 20 hari libur, itu belum ditambah beragam cuti, mulai dari cuti bersama, cuti tahunan, cuti kelahiran anak, cuti khitanan, cuti menikah, hingga cuti keluarga meninggal. Sementara itu, di Thailand setahunnya cuma ada kurang lebih 15 hari libur saja.

Berita Terkait :  Setya Novanto Diminta KPK Memberikan Contoh Yang Baik kepada Masyarakat,

Dengan makin sedikitnya jam kerja, menurut Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim. Otomatis nilai produktivitas pun jadi rendah.

“Di situ pembandingnya karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit. Makanya, upah itu ketinggian, tidak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja,” kata Dita.

Menurut dia, kalau upah tidak cocok dengan output, kesimpulannya upah terlalu tinggi.

Ia menyebutkan pula bahwa data pun membuktikan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia memang rendah. Di Thailand, poinnya mencapai 30,9, sedangkan di Indonesia hanya 23,9 poin.

Berita Terkait :  Komandan Operasi KKB Yahukimo Demius Magayang meninggal dunia

Bila bicara nominal, lanjut dia, upah minimum di Indonesia terlalu ketinggian. Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin, upah minimumnya mencapai Rp4.104.475,00, upah minimum itu diberlakukan di Phuket. Sementaradi Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp4.453.724,00, padahal nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin.

Sebagai informasi upah minimum Jakarta yang dimaksud adalah simulasi terakhir dari Kemenaker dan BPS upah minimum pada tahun 2022. Dalam simulasi itu upah minimum naik 1,09 persen secara nasional, Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum tertinggi.

 

Related posts