LaNyalla menyampaikan hal itu saat menjadi keynote speech dalam “Focus Group Discussion (FGD) tentang Amendemen Ke-5 UUD 1945: Menghitung Peluang Calon Perseorangan” yang diselenggarakan di Auditorium Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pare-Pare, Selasa.
“Sebelum amendemen konstitusi empat tahap, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan mendapat mandat rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sehingga semuanya dapat mengajukan atau mengusulkan sekaligus memilih calon presiden dan calon wakil presiden,” ujarnya dalam rilis yang diterima di Makassar.
Tetapi, lanjut LaNyalla, setelah amendemen konstitusi sistem tata negara Indonesia berubah total. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Utusan Daerah diganti Dewan Perwakilan Daerah dan Utusan Golongan dihapus. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. dan Mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik, yaitu parlemen dan presiden.
“Yang menjadi pertanyaan, DPD yang merupakan perubahan wujud utusan daerah dan utusan golongan justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang daulat rakyat yang didapat melalui pemilu. Inilah yang saya sebut dengan kecelakaan hukum yang harus dibenahi,” kata LaNyalla.
Ia mengatakan bahwa penguatan peran dan posisi DPD RI bukanlah sebuah hal yang mengada-ada. Tetapi merupakan upaya untuk mengembalikan atau memulihkan hak karena DPD RI adalah wakil dari daerah. Wakil dari golongan-golongan atau wakil dari entitas-entitas “civil society” yang nonpartisan.
“Saat ini entitas-entitas tersebut tidak bisa terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa karena tidak ada saluran dan ruang bagi mereka. Padahal sumbangsih entitas civil society nonpartisan terhadap lahirnya bangsa dan negara ini tidak kecil,” tambahnya.
Selain itu, penguatan peran dan fungsi DPD RI merupakan sebuah amanat sejarah, bahwa bangsa ini memiliki ruang nonpartisan yang berhak untuk ikut serta menentukan arah wajah dan perjalanan bangsa ini ke depan.
“Kita bisa berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai. Makanya DPD seharusnya bisa menjadi saluran atas harapan tersebut. DPD RI harus membuka saluran bagi lahirnya calon-calon pemimpin bangsa yang hak-haknya dijamin oleh konstitusi,” ujarnya.
Seperti termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 hasil amendemen yang tertulis ‘Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’.
Begitu pula dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945 yang tertulis ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’.
Lalu, dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945 yang tertulis ‘Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan’.
“Jadi gagasan untuk membuka peluang calon pemimpin dari kalangan nonpartai politik adalah konstitusional, sekaligus sebagai upaya memulihkan Hak DPD RI sebagai wakil daerah yang merupakan perwujudan dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah,” tegasnya.
Oleh karena itu, LaNyalla mengajak para mahasiswa dan kaum terdidik lainnya untuk melakukan perbaikan atas beberapa persoalan fundamental yang ada di negara ini dengan memberikan dukungannya terhadap wacana amendemen konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir.
Beberapa senator ikut mendampingi LaNyalla dalam FGD yang digelar secara fisik dan online itu, antara lain Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD RI di MPR/Senator Sulawesi Selatan), Andi Muh. Ihsan (Sulawesi Selatan), Habib Ali Alwi dan TB. M. Ali Ridho Azhari (Banten), Djafar Alkatiri (Sulawesi Utara), dan Ajbar (Sulawesi Barat).