“Ambang batas pemilihan presiden membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja,” kata Siti Zuhro dalam diskusi publik yang bertajuk, “Pilpres 2024: Menyoal Presidential Threshold” yang disiarkan di kanal YouTube Forum INSAN CITA, yang dipantau dari Jakarta, Minggu.
Padahal, menurut Siti, sistem multi partai dengan jumlah yang banyak, serta masyarakat Indonesia yang majemuk tidak seharusnya hanya memunculkan dua pasangan calon saja. Hal tersebut mengakibatkan sistem multi partai dan masyarakat majemuk menjadi tidak terwakilkan dalam skema pemilihan presiden, sehingga membutuhkan upaya yang lebih tinggi dalam rangka menjamin kepentingan rakyat dan membangun demokrasi yang substantif.
Selain keterbatasan jumlah pasangan calon, Siti juga berpendapat bahwa ambang batas pemilihan presiden mengakibatkan kompetisi berlangsung secara tidak adil, nama pasangan calon yang kemungkinan besar hanya nama lama, serta menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri menjadi presiden.
“Selain perempuan, anak muda, figur-figur non-partai, figur-figur atau tokoh daerah yang tidak terafiliasi partai juga dirugikan (oleh adanya ambang batas pemilihan presiden),” tutur dia.
Ia menegaskan bahwa Indonesia perlu menambah variasi pasangan calon yang berkompetisi di dalam pemilihan presiden. Dengan penduduk yang berjumlah lebih dari 270 juta orang dan tantangan baru yang lebih kompleks, Siti berpandangan bahwa wajar kalau muncul beberapa pasangan calon yang bisa merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk.
“Ambang batas pemilihan presiden tidak diperlukan, karena kita cuma perlu ambang batas pemilihan legislatif,” kata Siti.