“Untuk sektor tambang, mungkin tidak pendapatannya untuk negara, kita tingkatkan jadi 100 persen? Tambang ini perlu kita maksimalkan pendapatannya untuk negara karena tambang sudah merusak alam,” kata Adian dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Selain merusak alam, sektor tambang telah mengubah mata pencaharian masyarakat sekitar, seperti petani menjadi pedagang, serta nelayan yang justru kehilangan pekerjaan akibat dampak dari pertambangan yang berlangsung.
Apabila pendapatan dari sektor tambang tidak dimaksimalkan oleh negara, ia mengatakan maka pengorbanan masyarakat, khususnya kerusakan alam dan kehilangan mata pencaharian telah disia-siakan pemerintah.
Adian menganjurkan peningkatan pendapatan negara dengan memaksimalkan potensi-potensi pertambangan yang dimiliki oleh berbagai perusahaan, seperti PT Vale Indonesia Tbk.
“Vale ini mendapat IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) 11 ribu hektare, dari 22 ribu hektare IUP (Izin Usaha Pertambangan) mereka di wilayah Kolaka. Nah, saya tidak tahu, yang 11 ribu hektare ini mau mereka apakan. Apakah smelter mereka sanggup menampung hasil dari 11 ribu hektare IPPKH ini untuk berproduksi atau tidak?” ujar Adian.
Adian juga mempertanyakan penggunaan izin yang dimiliki PT Antam. Sebab, Adian mengungkapkan ada lahan milik Antam yang tak terpakai, contohnya di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Yang saya khawatirkan, ketika negara butuh uang, rakyat butuh uang, pandemi masih terjadi, berbagai IUP dan IPPKH yang dimiliki beragam perusahaan ini tak digunakan, tapi hanya dipakai untuk kepentingan kolateral alias main-main saham saja. Yang untung hanya perusahaan, sedangkan rakyat tidak dapat apa-apa, lapangan kerja pun tidak terbuka,” tegas Adian.