“Ini ditandai dengan banyaknya pemuda menempati posisi strategis di banyak partai politik,” kata Tri Wahyudi Otto saat dihubungi oleh BabatPost.com, Selasa.
Meskipun begitu, lanjutnya, penempatan mereka pada posisi-posisi penting di pemerintahan, seperti staf khusus presiden dan staf menteri belum dapat dikatakan cukup untuk memaksimalkan peran pemuda dalam dunia politik Indonesia.
Menurut Wahyudi Otto, eksistensi dan kualitas kepemimpinan generasi muda di Tanah Air yang telah tampak dan diakui pula itu masih “tersumbat” oleh keberadaan persaingan ketat dalam dinamika politik nasional. Selain itu, ia juga melihat adanya keterbatasan akses bagi generasi muda di Indonesia untuk melibatkan diri dan mengabdi dalam dunia politik nasional.
“Hal ini disebabkan masih kuatnya ketokohan generasi tua dalam membangun jaringan dan pengaruh kekuasaannya di lembaga politik serta pemerintahan,” jelas Wahyudi Otto.
Hal yang ia paparkan tersebut menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi para pemuda di Indonesia ke depan agar mereka dapat memaksimalkan potensi perannya dalam dunia politik nasional.
Dalam mengatasi permasalahan itu, Wahyudi Otto pun berharap pemerintah dapat mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.
Secara umum, Undang-Undang itu ditujukan untuk memperkuat posisi dan kesempatan bagi pemuda, yaitu warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun dalam mengembangkan potensi dan peran aktifnya melalui kegiatan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan.
Selanjutnya, penguatan posisi dan kesempatan untuk berperan aktif tersebut dapat bermanfaat dalam mengembangkan diri mereka masing-masing, bahkan memberikan dampak positif terhadap pembaruan serta pembangunan nasional.
Pasal 28 UU Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan peran aktif pemuda di Indonesia, pemerintah pusat, daerah, badan hukum, organisasi kemasyarakatan, dan pelaku usaha dapat memberikan peluang, fasilitas, dan bimbingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ia mengamati untuk saat ini, contohnya, KNPI di Jakarta Pusat yang berkiblat pada pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2009 dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2016 belum sepenuhnya memperoleh hak-hak yang telah diatur di dalamnya.
Hak-hak itu di antaranya adalah pelayanan dalam penggunaan prasarana dan sarana kepemudaan tanpa diskriminasi.
“Jangankan posisi strategis, untuk urusan sekretariat saja kami harus dikenakan biaya retribusi,” tutur Wahyudi Otto.
Oleh karena itu, pengimplementasian UU Kepemudaan menjadi pekerjaan bagi pemerintah yang sudah sepatutnya segera dilaksanakan secara konkret.