BABAT POST – Berita viral mengenai Majapahit Kerajaan Islam’ telah masuk ke dalam pusaran pembicaraan publik. Si penulis buku itu, namanya Herman Sinung Janutama, bicara soal cara dia meneliti sehingga muncullah buku itu. Potongan penjelasannya terekam dalam video yang diunggah di YouTube oleh akun ‘Patih Gadjah Mada’, pada 19 Juni 2017, diakses detikcom pada Selasa (20/6/2017).
Ada dua video yang diunggah, pertama berjudul ‘Epistemologi Kawi Gadjah (ah) mada’ dan kedua berjudul ‘Metodologi Penulisan Sejarah Gajah (ah) mada. Soal penyebutan ‘Gajah Ahmada’ bukan ‘Gajah Mada’, Herman mengemukakan penjelasannya pula di video ini. Soal ini, Herman mengaku tak pernah menyebut Gajah Mada sebagai ‘Gaj Ahmada’, namun ‘Gajah Ahmada’, sebagaimana yang ia kemukakan lewat akun Facebook-nya sebelum video ini beredar.
“Herman Sinung Janutama penulis buku Kesultanan Majapahit “diadili” di Kantor Muhammadiyah Kota Yogyakarta berkaitan dengan isu viral Gaj Ahmada,” begitulah keterangan di video itu.
Dalam video itu terlihat Herman mengenakan ‘hoodie jumper’ loreng, mengenakan kaca mata, rambut dikuncir gelung ke belakang. Video diambil dari kamera yang terletak di kiri Herman. Di dinding belakang, nampak ada foto KH Ahmad Dahlan dan lambang Muhammadiyah.
Video ‘Epistemologi Kawi Gadjah (ah) mada’, dia menjelaskan perihal landasan metodologinya. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang pengetahuan. Dia punya epistemologi sendiri yang berbeda dengan yang digunakan peneliti Barat, misalnya De Graaf atau Profesor dari Universitas Michigan Amerika Serikat, Nancy K Florida, yang disebutnya telah membaca 750 ribu manuskrip Nusantara. ‘Epistemologi Kawi’ yang dipegang oleh Herman ini dia gunakan untuk mempelajari bukti-bukti sejarah.
“Kita harus mengetahui epistemologi kita sendiri, tata pengetahuan kita sendiri. Membaca aksara kawi maka kita harus menggunakan epistemologi kawi, bukan dengan menggunakan epistemologinya de Graff atau filolog-filolog yang lain,” kata Herman dalam video itu.
Aksara kawi adalah aksara yang digunakan di kawasan Nusantara pada abad pertengahan. Ada kaidah-kaidah yang harus diikuti dalam menulis dan membaca aksara kawi. Menurut Herman, kaidah itu adalah bagian dari metodologi.
“Di dalam Bahasa Kawi atau dalam Mardikawi, itu ada cara menulis, cara membaca, cara menterjemahkan simbol itu ada. Itu sudah metodologi yang rigid, metodologi yang solid, dan itu tidak bisa di… itu sudah berlaku ratusan tahun lalu, begitu lho,” kata Herman.
Dalam video ‘Metodologi Penulisan Serjarah Gajah (ah) mada’, Herman berbicara soal metodologi yang dia gunakan. Metodologi penelitiannya merujuk pada pujangga Jawa misalnya Ronggowarsito hingga Prabu Jayabaya. Untuk soal periodesasi sejarah, Prabu Jayabaya disebutnya membagi zaman menjadi tiga ‘Kali’, yakni satuan rentang waktu tujuh abad sampai satu milenium. Ada tiga Kali, yakni Kali Suwara, Kali Yuga, dan Kali Sengara. Contoh seperti ini membuktikan Jawa zaman dulu sudah punya cara sendiri dalam memahami realitas, maka tak perlu selalu merujuk ke metodologi Barat.
“Berarti kita membaca sumber internal ini dengan metodologi yang digunakan oleh nenek moyang kita juga. Karena kita tidak mungkin membaca sumber internal kita dengan kacamata Barat. Tidak mungkin,” ujarnya.
Metode penyelidikan sejarah yang dia pilih adalah metode ‘in situ’ atau ‘berada dalam objek penelitian’. Peneliti perlu ‘melibatkan diri’ dengan hal yang dia teliti.
“Kita dalam menuliskan kita tidak mau menggunakan model-model penulisan yang sifatnya laporan. Kita tidak mau. Kita ingin itu terlibat, bahasa saya dengan anu lah, dengan semi-fenomenologi,” ujarnya.
Fenomenologi termasuk bagian filsafat pengetahuan, dikembangkan di Eropa sejak Abad 18 sampai era Edmund Husserl tokoh terpenting fenomenologi awal Abad 20. Entah semi-fenomenologi Herman ada kaitannya dengan fenomenologi itu atau tidak.
Herman tidak alergi dengan metode Barat. Dia menyebut nama sejarawan Mircea Eliade dan ilmuwan lainnya dari Eropa. “Antropolog-antropolog model Polandia dan Eropa di tahun ’78 itu, itu bisa kita pakai,” kata dia.
Namun dia pesimis penjelasan soal metodologi yang agak serius bisa dipahami via kabar-kabar viral belaka. “Pertanyaannya sekarang, mana mungkin saya membicarakan hal-hal begini di level viral? Nggak mungkin. Karena kita berbicara kerapian metodologi. Kerapian metodologi ini membuat kita harus mengetahui materi penelitian kita, subjek materialnya, karena itu yang akan menghasilkan data, itulah yang akan menyentuh data. Maka saya menyiapkan mesin metodologinya, maka saya bilang selamat datang data-data, data-data akan datang sendiri. Ini bukan mitologi, tapi kita spirit ilmiah,” tutur Herman.