BABAT POST – Qatar muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di jazirah Arab dengan sumber kekayaan minyak terbesar di seluruh dunia membuatnya mejadi simbol kekuatan baru yang patut diwaspadai. Ekonomi yang kuat akibat pendekatan reformasi di internal keluarga dan negara Qatar disebut menjadi alasan.
“Qatar itu adalah development model. Monarki boleh, tapi harus ada perubahan,” kata Ekonom Indef Berlu Martawardaya dalam diskusi Populi Center di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu 10 Juni 2017.
Perubahan tersebut terjadi secara berkala sejak Inggris memberikan kemerdekaan kepada Qatar. Namun, reformasi yang terlihat signifikan terjadi saat konflik internal di keluarga Al Thani terjadi.
Kekuasaan di generasi lama yang disimbolkan oleh kepemimpinan Khalifa bin Hamad Al Thani, diambil alih oleh anaknya yang bernama Hamad bin Khalifa Al Thani.
“Emir yang saat ini memimpin sadar, walau cadangan migas Qatar besar, tantangan di masa depan itu adalah inovasi,” kata Berlu.
Qatar pun membuka pintu ke sejumlah institusi akademik besar dari Amerika lewat barter pangkalan militer. Contohnya, Universitas John Hopkins yang dikenal dengan sekolah medis terbaik dan Brookings Institutions yang diketahui sebagai think tank besar asal AS.
Tak hanya itu, Qatar memanfaatkan keuntungan dari minyak yang mereka dapat untuk membangun industri dan pusat keuangan syariah. Perubahan ini membuat Qatar menjadi salah satu raksasa ekonomi di kawasan teluk.
“Qatar adalah satu contoh yang paling tepat bagaimana sebuah negara kecil dengan kemampuan ekonomi luar biasa, mereformasi diri sejak awal,” kata pakar politik UIN Jakarta, Ali Munhanif.
Qatar mampu memiliki pendapatan bruto USD353 miliar dan pendapatan per kapita penduduk USD145 ribu. Padahal, penduduk asli hanya 12 persen total penduduk Qatar.
“Reformasi ini berhasil. Qatar menjadi negara kecil tapi memiliki pengaruh besar,” kata Ali.
Hal ini membuat negara-negara teluk lain merasa terancam. Perbedaan pandangan antara negara lain dengan pandangan keluarga monarki di jazirah yang lebih konservatif ditambah dengan ancaman dari kekuatan ekonomi, membuat mereka akhirnya dimusuhi.
“Ini sebenarnya gesekan sudah lama. Cuma kebetulan ditemukanlah pemicunya berupa ‘membantu kelompok teroris’ lewat justifikasi dari Donald Trump,” kata Ali.