Fiera Lovita Merasa Tak Lagi Merasa Aman Tinggal Di Solok, Sampai Minta Bantuan Kepolisian

Babatpost.com – Seorang Dokter dari Sumatera Barat Yakni Fiera Lovita, seperti ketakutan dan meminta perlindungan dari pihak kepolisian. saking tak kerasannya dia memilih untuk meninggalkan kota Solok, karena datangya beberapa ancaman.

Ancaman itu diperolehnya setelah dia mengunggah status di laman Facebooknya yang isinya mengherankan sikap pimpinan Front Pembela Islam, FPI, Rizieq Shihab, dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Pornografi.

Read More

Akibat pernyataannya, perempuan berusia 40 tahun ini mengaku telah didatangi sekelompok orang yang mengaku anggota FPI dan meminta dirinya mencabut status tersebut dan meminta maaf.
Fiera Lovita adalah dokter umum di Rumah sakit daerah (RSUD) Kota Solok, Sumatera Barat.

Walaupun sudah meminta maaf, Fiera mengaku tetap mendapat ancaman yang disampaikan secara langsung, melalui telepon dan media sosial.
“Saya enggak aman di sini (Kota Solok, Sumatra Barat), saya dianggap menista ulama,” kata Fiera Lovita kepada BBC Indonesia melalui sambungan telepon, Sabtu (27/05) siang.

‘Dijemput polisi’
Saat ditelpon, Fiera mengaku tengah dijemput aparat kepolisian dari Polres Solok untuk menggelar jumpa pers bersama. “Saya sudah dijemput polisi,” akunya, singkat.
Dia juga menyatakan akan meninggalkan Kota Solok demi keamanan dirinya dan kedua anaknya. “Kami mau pindah selama-selamanya (dari Kota Solok). Mungkin ke Jakarta. Yang pasti bukan di Sumatra.”

Fiera kemudian meminta wawancara diakhiri karena “hendak jumpa pers bersama kepolisian.”
Sampai pukul 15.00 WIB, BBC Indonesia belum bisa menghubungi Polres Solok, Sumatra Barat.

Tindakan sekelompok orang yang melakukan ancaman terhadap Fiera telah diprotes pegiat HAM dan para pengguna media sosial.

LSM Setara mendesak Polres Kota Solok bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran dan yang ingin selalu memaksakan kehendaknya.

“Selain itu agar korban yang terintimidasi diberikan rasa aman dan dilindungi hak asasinya,” tegas pegiat lembaga Setara, Bonar Tigor Naipospos, dalam pesan tertulisnya yang diterima BBC Indonesia, Sabtu siang.

Efek Ahok
Sementara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sebuah jaringan relawan kebebasan ekspresi di Asia Tenggara, meminta pemerintah Indonesia mewaspadai aksi persekusi yang disebut Efek Ahok (The Ahok Effect).

Menurut SAFENET, tindakan persekusi ini sudah menyebar merata di seluruh Indonesia dan perlu menjadi perhatian serius karena tingkat ancamannya yang nyata.
“Persekusi atau tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga ini didasarkan atas upaya segelintir pihak untuk memburu dan menangkap seseorang yang diduga telah melakukan penghinaan terhadap ulama dan agama,” kata Damar Juniarto, koordinator regional SAFEnet, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (27/05) siang.
Latar belakang persekusi The Ahok Effect ini muncul sejak dipidanakannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke pengadilan dengan pasal penodaan agama.

Semenjak saat itulah, demikian temuan SAFEnet, muncul kenaikan drastis pelaporan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE.

“Lalu setelah Ahok divonis bersalah, muncul tindakan persekusi atau pemburuan atas akun-akun yang dianggap menghina agama/ulama di media sosial,”ungkap Damar.

‘Perburuan sewenang-wenang’
Dia menjelaskan, persekusi ini dilakukan dengan tahapan, pertama, lewat Facebook Page. “Admin mentrackdown orang-orang yang menghina ulama/agama,” katanya.

Kemudian, kedua, mereka menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto, alamat kantor atau rumahnya.

“Ketiga, aksi gruduk ke kantor/rumahnya oleh massa, dan keempat, dibawa ke polisi dan dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE atau pasal 156a KUHP,” jelasnya.
Sebagai negara hukum, sambung SAFEnet, seharusnya persekusi ini tidak dilakukan. Alasannya, apabila mengacu pada proses hukum yang benar, dapat dilakukan melalui somasi, mediasi, dan bisa berujung pelaporan kepada kepolisian.

SAFEnet mengkhawatirkan bila aksi persekusi ini dibiarkan terus-menerus maka akan menjadi ancaman serius pada demokrasi, yang antara lain ditandai “proses penegakan hukum berdasarkan tekanan massa atau mobokrasi.”

Karena itu, SAFEnet mendesak Pemerintah Indonesia dan secara khusus Kapolri untuk melakukan penegakan hukum yang serius pada tindakan persekusi atau pemburuan sewenang-wenang yang dilakukan segelintir pihak ini.
Menkominfo kemudian diminta melakukan upaya yang dianggap perlu untuk meredam persekusi memanfaatkan media sosial ini karena melanggar hak privasi dan mengancam kebebasan berekspresi.

Dan, “Pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang menjadi target dari persekusi ini.”

“Karena setiap orang harus dijamin untuk dilindungi dengan asas praduga tak bersalah dan terhindar dari ancaman yang membahayakan jiwanya,” tegas SAFEnet.

Related posts