Babatpost.com – Lukas Enembe Gubernur Dari Papua mengatakan bahwa Dirinya dan masyarakat Papua siap mendukung Pemerintah Indonesia dalam menguasai mayoritas saham PT Freeport Indonesia.
“Kita setuju kalau negara menguasai 51 persen saham Freeport karena sektor ekonomi yang dikuasai oleh asing membuat kita tertinggal jauh,” ucapnya di Jayapura, Selasa (21/2/2017).
“Kalau kita menguasai 51 persen saham Freeport, maka Freeport-lah yang menjadi karyawan karena hanya menguasai (saham) 49 persen,” ujarnya.
Ia mengatakan, sebagai perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, Freeport harus tunduk dan taat terhadap aturan yang berlaku, apalagi mereka sudah banyak meraup keuntungan dari hasil mengeksplorasi kekayaan alam Papua.
“Ini sudah waktunya setelah 48 tahun Freeport menambang di Papua, sudah waktunya dia tunduk dan taat kepada UU di Indonesia. Kita sekarang minta sahamnya 51 persen, Freeport hanya bisa memberi 49 persen,” katanya.
“Ini wajib hukumnya karena UU Nomor 4 Tahun 2009 ditambah dengan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2017, Freeport harus tunduk pada itu, Freeport sudah banyak ambil (kekayaan alam Papua),” kata Enembe.
Menurut dia, Papua kini menjadi incaran bagi negara-negara maju yang ingin mengelola potensi tambang yang ada. Namun, Enembe menekankan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat yang harus dikedepankan.
Papua ini letaknya sangat strategis dan menjanjikan bagi semua negara. China dan Amerika berlomba-lomba memperebutkan kawasan ini.
“Oleh karena itu, sebagai negara yang berdaulat, sektor-sektor ekonomi harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya.
Sebelumnya, President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C Adkerson mengaku akan menggugat Pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan negosiasi kontrak yang kini masih dalam perdebatan.
Richard dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/2/2017), mengatakan, Jumat (17/2/2017) lalu PT Freeport Indonesia telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh Pemerintah Indonesia.
Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya yang ditandatangani 1991 silam itu. Ia juga menilai KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh Pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Oleh karena itu, melalui surat tersebut, diharapkan bisa didapat solusi atas kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
“Dalam surat itu, ada waktu 120 hari bagi Pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase,” katanya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meminta PT Freeport Indonesia untuk menghormati aturan yang ada di Tanah Air terkait perdebatan perubahan status Kontrak Karya menjadi izin usaha pertambangan khusus.
Menurut Luhut yang ditemui di Kemenko Kemaritiman Jakarta, Senin, posisi pemerintah jelas dalam hal tersebut dan tidak akan mundur dari aturan yang telah disusun.
“Freeport harus menyadari ini adalah B to B (business to business). Jadi, tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah hampir 50 tahun di sini, jadi mereka juga harus menghormati undang-undang kita,” katanya.