BABAT POST – Kelompok ekstrimis Negara Islam Irak Suriah (ISIS) kembali melakukan aksi pembantaian. Mereka telah mengeksekusi 40 orang di Mosul, markas terbesar kelompok itu di Irak. Demikian laporan yang diungkapkan oleh salah satu sumber keamanan.
Kepala Komite Keamanan Dewan Provinsi Niniwe, Mohammed al-Baiyati mengatakan, para korban dieksekusi atas tuduhan bersekongkol melawan kekuasaan kelompok itu di Mosul, ibukota provinsi Nineveh, atau membantu orang melarikan diri kota, atau menjadi mantan anggota keamanan Irak.
“Kelompok teroris ISIS mengirimkan 40 jenazah pria dan daftar nama mereka ke kamar mayat rumah sakit utama di Mosul,” kata Baiyati. Dia mengatakan semua mayat ditembak di kepala seperti dikutip dari Xinhua, Senin (22/8/2016).
Eksekusi ini dilakukan ditengah gempuran tentara Iran dan pasukan keamanan Kurdi, yang dikenal sebagai Peshmerga, yang berjuang untuk merebut kembali posisi di sekitar Mosul. Gempuran ini datang bersamaan dengan serangan besar-besaran untuk membebaskan seluruh kota.
Mosul, kota terbesar kedua di Irak, telah berada di bawah kontrol ISIS sejak Juni 2014. Ketika itu, pasukan pemerintah Irak meninggalkan senjata mereka dan melarikan diri. Hal ini memberikan kesempatan kepada militan ISIS untuk menguasai bagian wilayah utara dan barat Irak.
Sementara itu Irak juga baru saja mengeksekusi 36 orang yang dihukum karena turut ambil bagian dalam pembantaian ratusan tentara pada 2014 lalu di Tikrit. Demikian pernyataan sejumlah pejabat di Irak.
Menurut gubernur provinsi Yahya al-Nasiri, para pelaku digantung di penjara Nasiriyah di Irak selatan. Pernyataan ini dibenarkan oleh seorang pejabat Kementerian Kehakiman, yang berbicara dengan syarat anonim seperti dikutip dari CBS News, Senin (21/8/2016).
Namun, eksekusi ini mendapat kritikan dari Kepala Dewan Provinsi Salahudi dimana Tikrit adalah ibukota provinsi itu. Menurutnya, beberapa pria yang dieksekusi telah disiksa agar mengaku.
“Beberapa dari mereka bahkan tidak ada di tempat kejadian. Kami mendukung hukuman mati bagi mereka yang melakukan kejahatan, tetapi penggunaan kekerasan dan penyiksaan di penjara Irak harus diselidiki,” kata Ahmed al-Karim.
Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi telah berusaha untuk melacak lokasi eksekusi hukuman mati ini setelah serangkaian pemboman besar-besaran di dan sekitar Baghdad dalam beberapa bulan terakhir.
PBB juga mengkritik kebijakan ini dengan mengatakan lemahnya sistem peradilan di Irak membuat hukuman yang dijatuhkan secara tegesa-gesa akan menyebabkan ketidakadilan yang lebih besar.