BABAT POST – Anggia Anggraini, sosok perempuan berkerudung yang dipanggil Kak Anggi oleh anak-anak ini terlihat semangat. Perempuan kelahiran tahun 1988 ini merupakan guru informal bagi anak-anak pemulung itu.
Anak-anak itu dikumpulkan Anggi sejak tahun 2013 silam. Saat itu, tanpa sengaja ia melewati kawasan pemulung dan melihat banyak anak yang terpaksa ikut bekerja sebagai pemulung.
Hati Anggi, demikian namanya akrab dipanggil, kemudian tergerak ketika ia mengetahui bahwa anak-anak ini mendapat diskriminasi pendidikan di sekolah mereka masing-masing. Saat itu, banyak dari mereka yang putus sekolah lantaran tidak mampu untuk membeli baju seragam, buku, maupun perlengkapan penunjang sekolah lainnya. Padahal, mereka bersekolah di sekolah negeri milik pemerintah.
“Nah, itu yang memotivasi saya untuk membantu mereka. Kalau sekarang mereka hanya memulung tanpa sekolah, dua tiga tahun kemudian mereka akan tetap memulung dan tidak dapat pendidkan yang layak,” kata Anggi usai mengajar anak-anak itu, Rabu (10/8/2016) lalu.
Rumah belajar yang ada saat ini, lanjut Anggi, baru digunakan kurang lebih satu tahun. Bangunan itu dipinjamkan pihak sekolah setelah ia menemui salah satu istri pejabat tinggi di provinsi dan menyampaikan niat untuk membangun rumah belajar untuk anak-anak ini.
Awalnya, pada 2013 lalu, setiap sore Anggi mengajar di teras rumah warga. Selama empat bulan, Anggia mengajar sekitar 80 anak pemulung seorang diri. Anggi pun sempat diusir oleh warga lantaran apa yang dilakukannya saat itu dinilai telah memotong jam kerja anak-anak mereka untuk bekerja mencari uang.
Anak-anak ini terpaksa ikut bekerja dan putus sekolah karena ketimpangan ekonomi dan sosial keluarga mereka, sehingga mereka terpaksa turun ke jalanan entah itu sebagai pemulung, pengemis, atau pengamen.
“Setelah diusir, saya juga sempat dituduh sebagai caleg, kebetulan pada saat musim pemilu. Saya katakan kepada mereka jika saya hanya ingin berbagi dengan adik-adik dan ingin memberikan yang bermanfaat untuk mereka,” kenang Anggi.
Anggi kemudian memikirkan cara agar ia bisa diterima dan meyakinkan kepada orangtua anak-anak arti penting pendidikan.
Beragam cara ia lakukan, mulai dari membawa aneka kue dan makanan hingga memberikan beras masing-masing satu kilogram kepada 80 orangtua anak-anak itu supaya mau mengizinkan anak-anaknya belajar.
Apa yang dilakukan Anggi terhadap anak-anak pemulung ini merupakan obat luka kegagalan pendidikan yang pernah ia alami. Lulusan SMA Taruna Bumi Khatulistiwa Pontianak ini pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta.
Namun, Anggi hanya mampu bertahan hingga semester empat kuliah di kampus tersebut. Ia pun memutuskan untuk berhenti dan kembali ke Pontianak tempat asalnya.
“Sempat kehilangan jati diri, malu bertemu dengan teman-teman karena merasa tidak ada apa-apanya jika dibanding teman-teman yang sedang kuliah maupun yang sudah mendapat gelar pada saat itu, padahal usianya sama,” kata Anggi.
Berawal dari kegagalan itu, ia mulai bangkit dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Kebangkitan itulah yang kemudian menjadi motivasi untuk membantu anak-anak pemulung bahwa usia bukanlah kendala untuk kita kembali ke bangku sekolah dan mengejar cita-cita.
“Saya katakan kepada adik-adik bahwa cita-cita itu adalah milik seluruh anak di Indonesia,” katanya.
Berbekal uang jajan yang diberi orangtuanya, Anggi kemudian mengajak kembali anak-anak ini untuk bersekolah. Ia memberikan semacam beasiswa dari kantung prbadinya untuk anak-anak ini melanjutkan sekolah yang digunakan untuk membeli seragam, buku, maupun peralatan sekolah lainnya hingga biaya masuk sekolah.
Anggi kemudian menghubungi setiap sekolah tempat anak-anak ini putus sekolah. Anak-anak ini pun kemudian akhirnya bisa kembali bersekolah sesuai dengan kelas mereka masing-masing yang ditinggalkan sebelum putus sekolah.
Kepada pihak sekolah, ia berjanji jika anak-anak in tidak akan keluar dari peringkat 10 besar di kelas. Anggi pun saat itu berani menjamin bahwa anak didik yang dikembalikan ke sekolah itu bisa mendapatkan peringkat. Jika jaminan itu meleset, maka mereka akan diturunkan tingkat dari kelas satu.
“Dan kebanggan saya ketika menerima raport mereka, 80 siswa yang saya didik semuanya masuk peringkat 10 besar, 78 siswa di sekolah dasar dan 2 siswa SMP,” ungkap Anggi dengan nada bersemangat.