BABAT POST – Guna percepat proyek pembangunan, menurut sejumlah laporan, pekerja bangunan di Korea Utara diberi obat berbasis methamphetamine atau dikenal dengan sabu-sabu.
Ratusan ribu warga Korea Utara dikerahkan untuk menyelesaikan proyek yang terdiri dari gedung pencakar langit 70 lantai dan lebih dari 60 blok apartemen itu.
Dikutip dari The Telegraph, Kamis (11/8/2016), manajer proyek di Pyongyang, Korea Utara, dikabarkan berada di bawah tekanan besar dari rezim Kim Jong-Un untuk menyelesaikan proyek secara tepat waktu. Hal tersebut memaksanya memberikan sabu-sabu kepada para pekerja bangunan.
Ketika dihirup atau diisap, sabu-sabu membuat para penggunanya merasakan euforia, peningkatan energi, dan nafsu makan berkurang. Efek tersebut dapat bertahan hingga 12 jam.
“Manajer proyek secara terbuka memberikan narkoba untuk pekerja konstruksi sehingga mereka akan bekerja lebih cepat,” ujar sebuah sumber dari pihak konstruksi di Pyongyang kepada Radio Free Asia.
“Mereka mengalami penderitaan yang mengerikan dalam bekerja,” tambahnya.
Tapi taktik mempercepat pelaksanaan proyek dengan memanfaatkan narkoba untuk para pekerja bangunan itu telah menyebabkan munculnya graffiti bernada sindiran di berbagai bangunan.
Salah satu tulisan di bangunan ada yang berbunyi;
”kecepatan Pyongyang adalah kecepatan narkoba”.
Menurut laporan Radio Free Asia, para kritikus menjuluki pekerja bangunan Korut sebagai “pasukan naroba”.
Kini, para pejabat di Kota Pyongyang bersumpah untuk melacak mereka yang bertanggung jawab dan memperingatkan bahwa orang yang tertangkap membuat graffiti akan dihukum berat.
“Penyidik memperingatkan pekerja konstruksi bahwa mereka akan dihukum berat untuk insiden lebih lanjut dari jenis ini,” kata sumber di Korut.
Ancaman aparat Korut untuk mencari dan menangkap para pelaku pembuat graffiti dianggap sia-sia karena vandalism sudah bermunculan secara signifikan di Kota Pyongyang.
“Sudah ada banyak graffiti dengan konten cabul di lokasi konstruksi atau di toilet umum, dan bahkan jika graffiti ini bernada politik,” lanjut sumber tersebut, seperti dikutip dari Mirror, Jumat (12/8/2016).
Pegiat Hak Asasi Manusia di Asia mengatakan, pekerja konstruksi bekerja layaknya budak. Mereka mendesak PBB untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap Kim Jong-un.
“Akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa hal ini terjadi, namun jika dikonfirmasi maka kami benar-benar mengutuk hal tersebut,” kata Direktur kawasan Asia untuk Human Rights Watch, Phil Robertson.
“Masalah sebenarnya di sini adalah perbudakan buruh, dan reaksi langsung kami atas hal ini adalah, jika mereka ingin pekerja bekerja lebih cepat mengapa tak membayar mereka, bukannya memberikan mereka narkoba?”
“Pemerintah Korea Utara ingin menyelesaikan bangunan ini untuk membuktikan bahwa mereka adalah negara berkembang. Namun pemaksaan pekerja ini secara sepihak dikutuk oleh masyarakat internasional,” imbuhnya.
Robertson juga menambahkan, hal tersebut mengingatkan pada Perang Dunia II di mana pemerintah menggunakan warga mereka semdiri untuk bekerja paksa.
Korea Utara dilaporkan telah memproduksi methamphetamine untuk meningkatkan pendapatan sejak tahun 1970-an.
Awalnya substansi itu dijual sebagai obat, namun secara cepat menjadi narkoba yang memiliki kepopuleran besar.
Methamphetamine diproduksi di fasilitas milik negara oleh ahli kimia bergaji rendah dan dijual baik secara domestik maupun internasional.
Seiring produksi dan penjualan opium menurun di awal 2000-an, methamphetamine makin meluas.