Terus Menurun, Pesisir Pantai Utara Jakarta Bakal Pindah ke Pusat Kota

BABAT POST – Permukaan tanah di wilayang DKI Jakarta terus mengalami penurunan 5-10 cm per tahun. Hal ini akibat penggunaan air tanah yang terus jadi pilihan warga DKI.

Pemenuhan air bersih di wilayah DKI Jakarta pun bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan.

Read More

Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Agus Pambagyao mengatakan, Pemprov DKI melalui PDAM yang sekarang berganti PAM Jaya harus segera menghentikan penggunaan air tanah. Sebab, bila tidak dilakukan dengan cepat, pesisir pantai utara Jakarta bisa berpindah ke pusat kota dalam waktu dekat mengingat setiap tahunnya permukaan tanah menurun 5-10 cm per tahun.

“Sekarang kita lihat bagaimana PAM dan kedua operatornya, Palyja dan Aetra memenuhi kebutuhan air baku. Kalau tidak cepat, jangan harap penggunaan air tanah berhenti,” kata Agus Pambagyo usai menghadiri acara halal bihalal yang digelar oleh PAM Jaya, Aetra dan Palyja di salah satu rumah makan di kawasan Kebon sirih, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Juli 2016 kemarin.

Agus menjelaskan, dalam tujuh tahun kedepan, kerja sama PAM dengan Palyja dan Aetra akan berakhir. Artinya, mau tidak mau PAM harus mengelola air bersih sendiri mengingat peraturan pemerintah akhir tahun lalu menyebutkan bila pengelolaan air harus dilakukan oleh Negara.

Selama ini, lanjut Agus, pengelolaan air bersih yang diserahkan kedua operator swasta oleh pemprov DKI belum optimal. Masih banyaknya kebocoran dan minimya ketersediaan air membuat warga bukan hanya rumah tangga menggunakan air tanah. Menurutnya, ketegasan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnam (Ahok) harus lebih ditekankan dalam hal pelayanan air bersih ini.

“Terobosan seperti apa yang akan dilakukan DKI dalam tujuh tahun kedepan itu harus kita awasi. Ahok itu sudah tegas, hanya kurang bagus saja komunikasinya,” ujarnya.

Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat mengatakan, sejak 1998 pengelolaan air bersih di Jakarta memang diserahkan sepenuhnya kepada kedua operator swasta. Menurutnya, hampir 18 tahun bekerja sama, ketersediaan air tidak juga bertambah, sedangkan pertambahan penduduk semakin cepat.

Secara historis tahun lalu, lanjut Erlan, yang terjadi adalah dua mitra ini tidak memperhatikan Non Review Water (NRW) atau kebocoran dan pelayanan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, kata dia, setelah dipelajari lebih dalam ternyata tidak juga sepenuhnya seperti itu. Kedua operatornya ternyata cukup banyak menangani NRW dan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Tapi kenapa tidak juga bisa memenuhi kebutuhan air bersih di Jakarta?, ternyata konsep K3, kontinue, kualitas dan kuantitas tidak terpenuhi di area-area seperti di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Jadi ketimbang mengurusi NRW, saya memilih untuk menambah pasokan air bersih,” ujarnya.

Saat ini, Erlan menyebutkan, air bersih yang dapat dikelola dan didistribusikan Palyja dan PT Aetra sebanyak 17.000 liter per detik. Sedangkan kebutuhan air bersih bagi warga Jakarta yang mencapai 10 juta jiwa itu sebanyak 26.100 liter perdetik. Artinya, Jakarta masih kekurangan air bersih sekitar 9.100 liter per detik. Untuk itu, pembangunan Water Treatment Plants (WTP) yang bisa menambah 500 liter per detik harus dilakukan.

“NRW masih mencapai 41%. Untuk menekan NRW sebanyak 13%, saya hitung sekitar Rp2,5 triliun. Begitu dihitung kira-kira penghematan ini akan membawa saya kepada biaya per kubik air senilai Rp60.000 per liter, harga jual saat ini hanya Rp7.000. lagi pula penghematan air di satu area tidak juga bisa menolong area yang lain. Akhirnya saya simpulkan ternyata kita memang kurang air,” pungkasnya.

Related posts