BABAT POST – Jika pemerintah selalu merevisi anggaran belanja menjadi lebih rendah ditakutkan kredibilitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa jatuh.
Tidak hanya itu, kompetensi dan kemampuan Pemerintahan Jokowi juga akan diragukan dalam merancang serta mengeksekusi anggaran.
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR, M Misbakhun berpendapat, persoalan kepercayaan merupakan hal penting.
“Masalah trust (kepercayaan) ini sangat penting. Pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor,” kata Misbakhun dalam keterangan tertulisnya, Minggu (12/6/2016).
Maka itu, Pemerintahan Jokowi diingatkan agar bertindak cermat dalam merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Sebab implikasi merevisi APBN 2016 yang berisi pemangkasan anggaran tidak hanya berimbas secara ekonomi, tetapi juga psikologis.
Hal demikian dikatakan Misbakhun menanggapi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016 yang berisi pemangkasan anggaran.
Walaupun pemangkasan anggaran melalui revisi APBN bukan hal baru di era Presiden Jokowi, namun hal itu diyakininya bisa memicu ketidakpercayaan.
“Pemotongan anggaran belanja negara sebenarnya memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor. Terlepas dari apa pun alasannya, pasar dan investor akan memaknainya sebagai kontraksi pertumbuhan,” tuturnya.
Misbakhun lantas merujuk pada APBN 2015 yang menjadi tahun pertama Pemerintahan Jokowi. Belanja negara dalam APBN 2015 dipatok pada angka Rp2.039,5 triliun. Sedangkan target penerimaan negara ditetapkan Rp1.793,6 triliun.
Akan tetapi, pemerintah mengajukan APBN Perubahan 2015 yang berisi penyusutan anggaran. Target pendapatan negara diturunkan menjadi Rp1.761,6 triliun, sedangkan belanja negara dipangkas menjadi Rp1.984,1 triliun.
Dirinya mengingat kala itu faktor penyebab pemangkasan anggaran adalah perekonomian domestik dan global terus melesu. Dia menambahkan, dari sisi eksternal, ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk.
Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid. Sementara, ekonomi Tiongkok, meskipun mengarah ke kondisi yang lebih stabil, namun risiko pelemahan masih tinggi.
Sementara di dalam negeri, kejatuhan harga komoditas terutama batubara membuat banyak perusahaan tambang merugi, bahkan gulung tikar.
“Dampaknya, penerimaan negara terutama dari pajak jauh menyusut. Kejatuhan harga minyak juga membuat pendapatan negara dari minyak dan gas anjlok drastis,” tuturnya.
Namun, dirinya menduga pengalaman 2015 akan terulang. Sebab, dia melihat tanda-tanda anggaran belanja dalam APBN-P 2016 juga bakal dipangkas. Karenanya, dia mewanti-wanti pemerintah agar sebisa mungkin menghindari pemangkasan anggaran.
“Dalam teori ekonomi, sinyal kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya sehingga sebisa mungkin harus dihindari oleh pemerintah,” ujar wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Timur II itu.
Mantan pegawai Ditjen Pajak tersebut mengatakan, psikologis pasar dan investor akan terganggu jika melihat sinyal kontraksi. Sebagai imbasnya, pasar dan investor bakal mengerem segala aktivitasnya.