BABAT POST – Menjabat sebagai seorang kepala daerah sebetulnya bukanlah impian masa kecil Suyoto. Namun, jalan hidup telah mengubah masa lalunya yang sederhana dan menjadikannya seorang pemimpin, seorang Bupati Bojonegoro.
Yoto bukan dari kalangan orang berada secara finansial. Masa kecil Yoto dijalaninya di Desa Bakung, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro.
Ayahnya seorang tukang kayu, hanya sampai kelas III sekolah rakyat. Ibu kandungnya tidak bisa membaca dan menulis latin, tapi banyak belajar mengaji dan mengadopsi filosofi hidup dari budaya Jawa dan ajaran Islam. Ibunya juga sangat teguh dalam pendirian dan kejujuran.
Dengan kondisi sederhana, Yoto kecil pun memiliki cita-cita yang tak muluk-muluk. Ia ingin menjadi sopir bus.
Rumah orangtuanya yang bersebelahan dengan mushala menjadikan sebagai pengajar mengaji bagi adik-adik kelasnya. Sebutan Kang Yoto berasal dari anak-anak kecil yang diajarinya mengaji.
Karena senangnya hidup di mushala, tempat ibadah itu menjadi rumah kedua bagi Yoto. Di sana ia memperoleh pelajaran tentang hidup.
“Banyak nilai sosial dan leadership (kepemimpinan) lahir dari mushalla ini,” ujar Kang Yoto, Rabu (8/6/2016).
Selepas lulus aliyah, ia menimba ilmu di sebuah Universitas di Malang. Dari sanalah ia belajar organisasi, khususnya terlibat dalam aktivitas di kepemudaaan Muhammadiyah.
“Untuk menambah ilmu, saya pergi ke Malang (kuliah) dengan segala keterbatasan,” kata alumnus Universitas Islam Negeri Malang (dulu IAIN) ini.
Suatu hari pada masa Ramadhan, Yoto selalu mencari makanan berbuka puasa dan mengaji di masjid. Masa-masa susah saat mahasiswa itu berangsur-angsur berubah lebih baik.
Masa perkuliahan di Malang kemudian mengubah cita-citanya dari sopir bus. Ia ingin menjadi dai (penceramah) di perantauan.
Masuk politik
Setelah tahun 1995, ia terlibat dalam kegiatan keagamaan dan sosial. Tahun 1998, Yoto menjadi Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Di tahun itu pula, ia berkunjung ke Libya.
“Sepulang dari sana (Libya), tahu-tahu nama saya sudah dimasukkan dalam salah satu departemen kepengurusan PAN (Partai Amanat Nasional) di Jawa Timur,” kata dia. Itu terjadi pada 1998.
Jika tadinya Yoto merasa hanya menjadi pengamat dan penonton, sejak itu mau tak mau ia berkecimpung di dunia politik.
Ia yakin bahwa politik adalah alat yang efektif untuk melakukan perubahan. Masuk PAN sebenarnya bukan pilihan, tetapi waktu itu hanya PAN yang diketahuinya.
Yoto tidak memiliki tokoh khusus yang menginspirasinya terjun ke dunia politik. Ia lebih banyak belajar dari situasi masyarakat saat reformasi. Situasi itulah yang mendorongnya memilih idelogi politik kesejahteraan.
“Jadi ideologi itu impact-nya harus jelas, yaitu memberikan kesejahteraaan terhadap publik,” ujarnya.
Dalam politik, Yoto mengedepankan regiliusitas dan moralitas sebagai panduan. Inilah yang membuat PAN ingin menjagokan Yoto sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017.
Jalan politik itu kemudian mengantarnya anggota DPRD Jatim. Pada 2007, ia mencalonkan diri sebagai Bupati Bojonegoro dan berhasil.
Meski menjadi bupati terlihat mentereng, Yoto belum memiliki rumah pribadi. Ia tinggal di rumah dinas.
Keinginan untuk memiliki rumah sendiri baru muncul setelah ia menjalani masa kepemimpinan sebagai bupati untuk kedua kali.
Rumah yang ditempati, selain rumah dinas, berukuran 72 meter persegi adalah rumah yang dibelinya secara kredit di kawasan Panglima Polim.
Rumah itulah yang kelak akan menjadi rumahnya ketika tidak lagi tinggal di rumah dinas.