BABAT POST – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama belakangan berbeda pendapat dengan sejumlah Ketua RT/RW yang ada di Jakarta.
Perbedaan pendapat itu terkait penolakan dari para Ketua RT/RW terhadap kewajiban melaporkan masalah yang ada di wilayahnya, minimal tiga kali sehari via Qlue.
Qlue adalah aplikasi pengaduan yang dikelola Jakarta Smart City. Lewat aplikasi ini, masyarakat dapat melaporkan berbagai masalah yang ada di lokasi tempat ia tinggal, mulai dari got mampet, jalan rusak, maupun sampah yang menumpuk.
Sebenarnya, tanpa perantara Ketua RT/RW, masyarakat dapat melaporkan sendiri masalah di wilayahnya. Namun, Ahok (sapaan Basuki) menyatakan, kewajiban Ketua RT/RW melaporkan masalah via Qlue merupakan bagian dari upaya transparansi.
Sebab, ia tidak mungkin memberikan uang operasional kepada RT/RW begitu saja tanpa adanya bukti digunakan untuk apa uang tersebut.
Oleh karena itu, Ahok menyatakan, laporan aduan masyarakat via Qlue merupakan bukti bahwa uang operasional yang dibayarkan ke ketua RT/RW digunakan untuk hal tersebut.
“Sekarang logika begini aja, mereka mau masuk penjara apa enggak? Kalau kami terima uang APBD itu ada pertanggungjawaban enggak?”
“Sekarang ini pertanggungjawabannya uang operasional itu ngarang-ngarang enggak? Bikin kuitansi aja hati-hati ini,” kata dia di Balai Kota, Senin (30/5/2016).
Saat ini, besaran uang intensif yang diterima Ketua RT/RW setiap bulannya berjumlah Rp 900.000 untuk Ketua RT, dan Rp 1,2 Juta untuk Ketua RW.
“Apa sih susahnya (melaporkan) cuma tiga kali sehari? Kalau kamu enggak sempat mesti begituan, ya jangan jadi RT/RW, Bos,” ujar Ahok.Ahok menilai, jabatan ketua RT/RW sudah tidak lagi sama seperti dulu.
Ia menyebut, dulu ketua RT/RW punya banyak kewenangan terkait penerbitan izin sejumlah dokumen. Hal itu tidak berlaku sekarang.
“Kalau dulu RT/RW berkuasa sekali. Mau nyambung (perpanjang) KTP mesti rekomendasi. Mau domisili semua. Sekarang enggak perlu lagi,” kata mantan anggota Komisi II DPR RI ini.
Dalam peraturan lama, proses pengajuan KTP memang membutuhkan rekomendasi dari ketua RT/RW. Saat itu, pembuatan KTP belum berbasis pada data elektronik.
Menurut Ahok, dihapuskannya kewenangan penerbitan izin sejumlah dokumen merupakan bagian dari ease of doing business dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.
Sebab, kata Ahok, diwajibkannya warga untuk mendapatkan surat rekomendasi dari ketua RT/RW sebenarnya hanya mempersulit karena sering kali ketua RT/RW tak berada di tempat.
Ahok kemudian menceritakan pengalaman tak mengenakkan berurusan dengan ketua RT/RW.
“Waktu saya mau nyambung KTP, minta surat pengantar dari RT/RW sampai pagi-pagi dia belum bangun saya sudah harus kerja. Saya pulang ke rumah sudah kemalaman, dia lagi makan malam enggak mau terima,” cerita Ahok.
“Akhirnya, suruh Hansip buat ngurusin surat-surat itu. Kasih siapa duit? Ke Hansip. Itu jadi jaringan pungli akhirnya tanpa kita sadari,” kata dia.
Menurut Ahok, RT/RW adalah sistem yang dibentuk saat masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sistem itu kemudian dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru.
Ia berujar pemanfaatan RT/RW oleh Jepang dan Orde Baru memiliki kesamaan, yakni untuk mengawasi masyarakat.”Jepang dulu ngawasin siapa keluar masuk. Orde Baru, dimanfaatkan lagi. (Ketua RT/RW) dikuasai sampai jaringan Golkar dulu untuk mengontrol warga,” ujar Ahok.
Meski demikian, Ahok menolak jika dianggap ingin menghapus RT/RW. Ia hanya ingin agar para ketua RT/RW mengubah pandangannya. Sebab, ia menilai, masih banyak ketua RT/RW yang memanfaatkan posisinya untuk meraup keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak baik.
“Mereka ada harusnya melayani, bukan buat berkuasa, apalagi malakin orang,” kata Ahok.
Tidak hanya itu, Ahok juga mengimbau ketua RT/RW yang sibuk dan tak sempat melayani warga untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
“Kalau pulang kerja malam, jangan jadi RT, Bos. Kasih saja istri atau anak kamu. Kan kita juga butuh ada orang yang memperhatikan warganya,” ucapnya.