BABAT POST – Jebolan Indonesian Idol 2005, Monita Tahalea bukan lagi gadis berusia 18 tahun.
Ia kini sudah menjadi vokalis yang memilih sendiri warna musiknya sekaligus memproduksi sendiri album solonya.
Dalam pertunjukan bernama Dandelion di Teater Salihara, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/5/2016), Monita menampilkan 16 lagu di hadapan kira-kira 250 orang penonton.
Dengan jumlah penonton itu, suasana intim bisa dibangun ketika mendengarkan suara empuk Monita dipadu dengan musiknya yang jazzy sekaligus riang.
Dandelion juga merupakan judul album mutakhir atau album ketiga Monita. Ia menulis lirik untuk delapan dari sembilan lagu dalam album tersebut.
“Mungkin bukan album terbaik di seluruh dunia, tapi album ini benar-benar yang ingin aku sampaikan dan agar yang mendengar mendapat harapan yang tidak putus-putusnya,” ucap Monita dari panggung yang hanya dilapisi karpet rumput dan bunga untuk menghadirkan suasana “taman bunga”.
Pertunjukan yang dimulai kira-kira pukul 19.30 WIB tersebut dibuka dengan lagu “Kekasih Sejati”, lagu lama dari album Kemenangan Hati milik Yovie Widianto.
Monita yang mengenakan gaun hitam one shoulder selutut itu hanya diiringi oleh gitar akustik dari Gerald Situmorang, mitranya yang juga memproduseri album Dandelion.
Pada lagu kedua, “Ingatlah”, Monita sudah lengkap diiringi oleh bandnya, yaitu Yoseph Sitompul (piano), Indra Perkasa (contra-bass), Jessi Matel (drum) Ricad Hutapea (saksofon dan flute), Fafan Isfandian (biola), dan Dwipa Hanggana Pratala (cello).
Pertunjukan dilanjutkan dengan “How Great Thou Art” dan “I Love Mama”.
“I Love Mama” diciptanya untuk sebuah produk perawatan kulit, tetapi juga bertujuan untuk menunjukkan cintanya kepada ibunya.
Keluarga Monita, yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik, nenek, saudara ipar, saudara sepupu hingga keponakan, ikut menonton dan memberikan dukungan.
“Senja” kemudian menjadi tembang pertama dari album Dandelion yang dinyanyikan dalam pertunjukan itu.
Harapan
Namun, senja yang jingga bukan menjadi akhir hari, melainkan sebaliknya, awal dari episode penuh harapan yang didominasi warna jingga.
Pada “set kedua”, Monita, yang berambut tegerai dan berwarna cokelat, berganti kostum. Ia mengenakan gaun jingga terang.
Lagu “Hai” dimulai dengan musik akustik. Para pemusiknya memainkan pianika, ukulele, gendang kecil, dan flute.
“Hai teman, apa kabar?” tanya Monita dengan tersenyum, yang dijawab “hai” oleh para penonton dengan riang.
Selanjutnya, para penonton pun menikmati lagu “Tak Sendiri”, yang dinyanyikan secara duet bersama rekannya, Gabriela Cristy, dan masih mengangkat suasana cerita berpengharapan.
Tempo pertunjukan dibawa lebih melambat dengan lagu “168”, meski dengan lirik yang tetap membawa asa.
“Cinta bukan tentang menanti dan menunggu/tetapi memang telah waktunya bertemu/walau tidak selalu berakhir bersama/mungkin nanti bertemu kembali/”.
Suasana syahdu tetap terpelihara dengan lagu berikutnya, “Perahu”, yang didukung permainan bunyi-bunyian dari contra-bass.
Lirik lagu itu menurut Monita bercerita tentang gadis bingung dan pengembara.
“Awalnya aku suka tulis cerpen di blog, tapi blognya enggak ada yang baca. Jadi, aku bikin lagu saja, he he he. Ini tentang si bingung, yaitu perempuan yang suka galau macam-macam, kalau pengembara itu kan laki-laki yang belum tahu akan berlabuh di mana,” ungkapnya.
Syukurlah, kegalauan tidak berlanjut karena pada lagu “Bisu” Monita mengundang pianis jazz lulusan Conservatorium van Amsterdam, Belanda Sri “Aga” Hanuraga.
Jari-jari Aga dengan lincah bermain di grand piano dan menghadirkan suasana jazz yang meriah.
Meski berjudul “Bisu”, lirik dan komposisi lagu malah mendorong para pendengarnya untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dengan bebas.
“Saat Teduh” menjadi lagu setelahnya. Monita membawakan lagu tersebut bersama rekan yang kerap mengiringinya manggung sebelum memiliki band, yaitu Bernardus Ajutor Moa.
“Hingga titik ini, saya yakin Tuhan yang memelihara, karena menyanyi bukan hanya pekerjaan untuk saya, tapi juga sebagai ucapan syukur karena membuat saya bertemu dengan orang-orang yang membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi,” tuturnya menceritakan “Saat Teduh”.
Suasana cerita kembali terasa dalam “I’ll be Fine” dan “Memulai Kembali”.
Klip video “Memulai Kembali” sudah ditonton lebih dari 637 ribu kali sejak diluncurkan empat bulan lalu.
Aroma nge-jazz sekali lagi hadir dengan “Breathe”, yang menghadirkan permainan terompet dari Jordy Waelauruw.
Kali ini Monita juga didampingi oleh seorang pemain pantomim untuk mengekspresikan lirik ciptaan Monita mengenai sikap selalu percaya walau rindu tidak bertepi.
Lagu pamungkas adalah “Hope”, yang berasal dari album Dream, Hope and Faith (2010). Liriknya mendorong orang untuk menjaga harapan meski dalam kondisi tersulit.
Meski tidak ada lagu tambahan, pesan untuk tetap tumbuh dalam kondisi sesulit apa pun, sebagaimana bunga liar Dandelion, tersampaikan dalam pertunjukan berdurasi dua jam tersebut.
Monita disebut memiliki pesan dari hati bagi para penggemarnya, sebagaimana tanggapan salah seorang personel bandnya dalam video Di Balik Pembuatan Album Dandelion, yang diputar dalam pertunjukan itu.
“Suara Momon (Monita) itu tipis dan lembut, tapi nembus ke soul orang,” kata Yoseph.
Dan, pesan itu masuk ke dalam jiwa para penonton di Salihara.