BABAT POST – Hasil penelitian Setara Institute terhadap 760 siswa di Jakarta dan Bandung Raya menunjukkan bahwa guru merupakan sumber utama pengetahuan keagamaan siswa.
“Guru memiliki pengaruh dominan dalam membentuk pandangan keagamaan siswa. Karenanya guru merupakan salah satu sektor yang perlu memperoleh perhatian lebih, selain kurikulum, model pembelajaran, dan siswa itu sendiri,” ujar Peneliti Setara Institute, Aminuddin Syarif di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (24/5).
Berdasarkan survei tersebut, 39,9 persen siswa yang menjadi responden penelitian ini memperoleh pengetahuan keagamaan dari guru. Sementara itu, dari orangtua, justru lebih rendah, yakni 23,2 persen.
Hasil survei secara keseluruhan memang menunjukkan bahwa mayoritas siswa memiliki toleransi yang baik.
Namun, menurut dia, ada pula yang bersikap intoleran dari sekedar puritan, hingga memiliki pandangan yang radikal.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menuturkan masih adanya guru yang intoleran sehingga mengancam toleransi siswa.
Ia menemukan adanya guru agama yang enggan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Ada pula dalam sebuah workshop, para guru menyatakan anti-kekerasan, tetapi dalam tempo lima menit setelah dipertontonkan tindak kekerasan kepada Ahmadiyah, mereka membenarkannya.
“Saat itu kelihatan antara pengetahuan dengan sikap kekerasan atas nama agama ada yang janggal. Kami guru menanamkan radikalisme, membenci perbedaan, itu adalah sesuatu yang bahaya.
Saya berfikir ngeri kalau guru seperti ini menyebar. Ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan negeri ini,” ujarnya.
Retno juga mengungkapkan, penanaman toleransi kepada siswa, terhambat oleh aturan sistemik di sekolah yang justru tidak toleran.
Ia mencontohkan sekolah yang mewajibkan siswanya mengenakan pakaian muslim dan melaksanakan shalat sunah.
“Kalau memang mau buat aturan wajib pakaian muslim ya buat saja sekolah agama. Kalau di sekolah negeri mau menerapkan seperti itu ya enggak bisa,” ujar Retno.
Ia juga mengkritik adanya aturan wajib membaca Al-Quran sebelum memulai pelajaran di beberapa sekolah negeri.
Menurut dia, sekolah tak bisa memaksakan siswa untuk memiliki pemahaman yang sama pada satu agama tertentu.
Hal inilah, kata Retno, yang belum banyak dilakukan oleh guru saat mengajar di sekolah.
Ia menilai, pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang mestinya menjadi sarana untuk mengajarkan sikap toleransi pada siswa, menjadi tidak efektif karena guru menggunakan kitab suci sebagai pembenaran atas apa yang mereka ajarkan di sekolah.
Retno juga menyebutkan, saat ini bobot pelaran agama lebih besar dari bobot pendidikan kewarganegaraan hingga Indonesia kekurangan guru agama.
“Kita ini harusnya membangun toleransi. Kalau ada siswa yang berbeda pandangan jangan disalahkan. Biarkan bersikap terbuka, kalau salah baru diluruskan,” katanya.
Mantan kepala sekolah SMAN 3 Jakarta ini tidak membenarkan paksaan praktik agama kepada siswa.
Jika ingin mengarahkan siswa untuk lebih beriman, menurut dia, para guru sedianya melakukan hal tersebut dengan cara promotif dan tidak mengkukuhkannya melalui aturan yang memaksa.
“Saya tertarik bahwa guru merupakan sumber belajar. Ini bisa jadi momentum bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendorong nilai kebangsaan terutama di sekolah publik,” ujarnya.